Dampak Sosial Pemindahan Ibu Kota Terhadap Masyarakat Adat

Reading time: 3 menit
Foto : istimewa

Jakarta (Greeners) – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui Ibukota Negara Republik Indonesia akan dipindahkan dari Jakarta ke salah satu tempat di Pulau Kalimantan. Namun, pemindahan ibu kota baru ke pulau Kalimantan tersebut diakui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) akan menimbulkan konflik baru, yakni permasalahan sosial.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, mengakui bahwa dirinya atau AMAN belum diajak bicara terkait masalah pemindahan ibu kota baru ke Pulau Kalimantan ini. Padahal Menurut Rukka, pemindahan ibu kota baru ini sangat riskan terhadap permasalahan sosial pada masyarakat adat di Pulau Kalimantan.

“Masyarakat adat sampai saat ini belum diajak bicara mengenai pemindahan ibu kota baru khsusunya AMAN. Pulau Kalimantan memang tidak rentan terhadap bencana namun sangat rentan terhadap bencana sosial yang harus diperhitungkan karena sejarah Kalimantan yang kita tahu betul sarat akan masalah sosial,” ujar Rukka saat ditemui di daerah Kuningan, Jakarta, Kamis (01/08/2019).

BACA JUGA : LIPI: Pemindahan Ibu Kota Negara Harus Memerhatikan Ancaman Bencana

Rukka mengatakan jangan sampai ada masalah api dalam sekam, artinya jangan sampai pemindahan ibu kota baru ini hanya memindahkan masalah baru untuk masyarakat adat. Pemerintah seharusnya tahu betul bahwa pemindahan ibukota baru ini demi kepentingan rakyat bukan hal lainnya.

“Saat ini kita tidak bisa membedakan pemerintah membicarakan kepentingan sebagai pelayan publik atau kepentingan dari perusahaan-perusahaan besar yang nantinya akan masuk ke dalam pembangunan infrastruktur ibukota,” ujarnya.

Menurut data AMAN, berdasarkan peta indikatif wilayah adat, hampir semua wilayah baik di Tanah Bambu, Gunung Mas, dan Palangkaraya di Pulau Kalimantan merupakan wilayah adat. “Kami bukannya tidak mau ibukota baru, namun ketika ibukota tidak dipindahkan secara baik maka hanya akan memindahkan persoalan seperti yang terjadi di Jakarta saat ini, yakni bagaimana orang-orang Betawi mulai tersingkir di tanahnya sendiri,” jelas Rukka.

Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN). Foto: www.greeners.co/Dewi Purningsih

Perpindahan etnis dan kultur ini diakui Rukka akan sangat berbahaya di Pulau Kalimantan, perpindahan aparatur negara dari Presiden, Menteri, hingga ASN (Aparatur Sipil Negara) berpotensi menyebabkan bentrokan masalah sosial.

“Masa pegawai sekarang dipecat semua lalu diganti dengan masyarakat Gunung Mas misalnya kan gak mungkin. Ada perpindahan manusia, dari luar masyarakat Gunung Mas yang pasti mempunyai latar belakang yang berbeda,” ujar Rukka.

Lanjutnya, Belum lagi masalah pembukaan lahan untuk pembangunan gedung-gedung, fasilitas, infrastruktur. Itu sangat besar sekali pembukaan lahannya. Semua orang tau Kalimantan masih segar akan hutan-hutannya.

“Dalam pemantuan kami, ketika Palangkaraya disebut sebagai Ibukota baru, banyak sekali penguasaan wilayah di Palangkaraya yang dibeli. Pastinya masyarakat tanpa pemahaman yang utuh akan begitu gampang menjual tanahnya, ditengah-tengah tekanan ekonomi. Takutnya, isu perpindahan ini ke Gunung Mas akan terjadi seperti itu lagi,” katanya.

BACA JUGA : Pemerintah Pastikan Pemindahan Ibu Kota Negara Tidak Menganggu Hutan Lindung

Rukka pun memberikan saran jika pemerintah pusat seharusnya bisa menjelaskan segala konsekuensi kepada masyarakat khususnya masyarakat adat jika pemindahan ibukota baru ini memang terjadi di wilayah Pulau Kalimantan. Informasikan secara jelas dan gamblang dampak positif dan negatifnya.

“Jangan menggunakan alasan akan memberikan dampak pekerjaan baru bagi masyarakat lokal karena hal itu tidak akan bertahan lama, yang ada mereka hanya dipekerjakan sebagai buruh saja karena tidak memiliki kemampuan sesuai keinginan para perusahaan itu,” jelas Rukka.

Sebagaimana diketahui, pada Mei lalu, Presiden Jokowi telah mengunjungi 2 (dua) tempat di Pulau Kalimantan yang dinilai berpotensi sebagai lokasi ibukota negara. Kedua lokasi itu adalah Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kaltim), dan Kabupaten Gunung Mas (Kalteng).

Penulis: Dewi Purningsih

Top