Riset Ecoton : Masyarakat Anggap 94,9 % Sungai Tercemar

Reading time: 3 menit
Ekspedisi Sungai Nusantara temukan dominasi sampah plastik di sungai. Foto: Ecoton

Jakarta (Greeners) – Masyarakat di sekitar 68 sungai strategis Jawa, Sumatra dan Kalimantan lewat persepsinya menyebut 94,9 % sungai dalam kondisi tercemar.

Data tersebut hasil riset kuesioner Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton) terhadap 1.180 responden tahun 2022. Riset ini juga bagian dari perjalanan Ekspedisi Sungai Nusantara. Terungkap juga temuan mikroplastik masih mendominasi pencemaran sungai.

Dari temuan mereka itu, 10 besar wilayah dengan kondisi sungai tercemar berada di Jawa Timur (Sungai Brantas), Sumatra Utara (Sungai Batang Gadis, Ular dan Sungai Deli), Sumatra Barat (Sungai Seblat, Singkarak).

Lalu, di Bangka Belitung (Sungai Titik Sukal Belo Laut, Telabik Kolong, Batu Mentas dan Tebat Rasau), Sulawesi Tengah (Sungai Donggala, Poso, Sungai Tentena). Kemudian Gorontalo (Sungai Talumolo, Paguyaman dan Limboto, Aceh (DAS Jambo Aye, Sungai Krueng Kluet).

Selanjutnya, Kalimantan Selatan (Sungai Mentajaya, Martapura, Pangembangan, Kuin, Kampung Baru dan Sungai Barito). Sungai lainnya yang tercemar ada di Sulawesi Selatan (Sungai Wallanae Soppeng, Jeneberang, Saddang Enrekang). Berlanjut ke Jawa Barat ada Sungai Citarum, Citanduy, Ciwulan dan Ciliwung.

Deputi Eksternal dan Kemitraan Ecoton Foundation Azis mengatakan, Sungai Citarum tercemar karena banyaknya pembuangan limbah industri di atas baku mutu.

Sementara itu, berdasarkan kajian Ecoton, sebelum Sungai Brantas tercemar mikroplastik, sungai tersebut pada tahun 1970 kondisinya sangat bersih.

“Sayangnya, sejak banyak industri dan penambahan jumlah penduduk menyebabkan kondisi kualitas air dan kesehatan Sungai Brantas menurun,” kata Azis kepada Greeners, Kamis (27/7).

Oleh karena itu, manusia perlu berhenti menjadikan sungai sebagai pembuangan sampah dan limbah. Selain menganggu aktivitas manusia, praktik buruk itu bisa merusak kehidupan biota yang ada di sungai hingga laut.

Sampah Plastik Kepung Marunda

Selain temuan Ecoton, brand audit sampah plastik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta 2023 juga menemukan setidaknya 5.547 keping sampah di Pesisir Marunda Kepu, Jakarta Utara yang timbul dari aliran sungai. Plastik sekali pakai menjadi jenis sampah yang paling banyak mereka temukan.

Pencemaran mengakibatkan kepunahan massal pada ikan, krisis air bersih, dan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu, peringatan Hari Sungai Sedunia pada 27 Juli harus mengubah persepsi semua pihak sungai sebagai tempat pembuangan. Sungai punya hak untuk bersih dan bebas dari pencemaran.

Faktanya, Indonesia memiliki sekitar 70.000 batang sungai. Hanya sebagian kecil berkondisi bersih. Misalnya Sungai Kemuning di Banjarmasin, Sungai Maron di Jawa Timur, dan Kali Biru Warsambin di Papua Barat yang dijadikan tempat wisata.

Butuh waktu lama sungai pulih dari pencemaran. Foto: Ecoton

Dampak Serius Sungai Tercemar

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Badan Riset dan Inovasi Nasional, Cynthia Henny menyebut, pencemaran sungai berdampak serius pada biota ikan dan manusia. Apalagi manusia mengonsumsi ikan bermikroplastik.

“Biota ikan akan menumpuk mikroplastik di dalam tubuhnya. Kemudian manusia akan makan ikan tersebut sehingga bisa meningkatkan biomagnifikasi kandungan mikroplastik pada manusia,” kata Cynthia kepada Greeners.

Fragmentasi dan degradasi (perombakan) sampah plastik di sungai akan menghasilkan mikroplastik yang ukurannya lebih kecil dari 0,1 mikrometer. Paparan sinar cahaya matahari membuat plastik terpecah menjadi mikroplastik dan dikonsumsi oleh organisme air.

Menurutnya, butuh waktu lama sungai untuk pulih kembali jika sudah tercemar mikroplastik. Sebab mikroplastik sudah tersebar di air dan terperangkap di sedimen sungai.

Berbeda dengan mikropolutan (antibiotik dan limbah cair). Bahan kimia bisa terdegradasi oleh cahaya matahari (fitokimia). Sedangkan bakteri bisa hilang dari badan air sungai.

Oleh karena untuk memulihkan sungai dan membebaskannya dari sampah plastik butuh monitoring berkelanjutan. Bahkan, jika dasar sungai dalam kondisi kritis mesti segera dikeruk.

Penulis : Dini Jembar Wardani

Editor : Ari Rikin

Top