RUU Perkelapasawitan Dinilai Melanggar Hak Asasi Manusia atas Petani Sawit

Reading time: 2 menit
ruu perkelapasawitan
Ilustrasi. Foto: www.flickr.com/photos/pixelthing/4400158497/in/photostream/

Jakarta (Greeners) – Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan menimbulkan kontroversi dengan adanya tumpang tindih kebijakan. Sebelumnya RUU Perkelapasawitan dianggap merugikan tata kelola lingkungan, kini RUU ini juga dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) pada petani sawit. Beberapa pihak juga mempertanyakan keselarasan RUU ini dengan konstitusi dan undang-undang lainnya.

Sandrayati Moniaga selaku Komisioner Komnas HAM mengatakan bahwa jika RUU Perkelapasawitan ini menjadi undang-undang maka akan menambah masalah baru, diantaranya tumpang tindih kebijakan pada sektor tata kelola lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, menurut Sandrayati UU ini peruntukannya bukan untuk rakyat atau petani sawit karena akan menguntungkan korporasi dan UU ini tidak menjadi jalan keluar dari apa yang terjadi di lapangan terkait masalah sawit.

“RUU Perkelapasawitan ini tidak menjadi agenda prioritas dilihat dari TAP MPR Nomor 9/2001 tentang reforma agria dan pengelolan SDA, tidak ada rekomendasi menambah UU sektoral, apalagi untuk spesies tertentu. Indonesia sangat beragam ekosistemnya, tanpa perhitungan yang akurat akhirnya buat siapa RUU sawit itu?,” katanya saat ditemui Greeners usai diskusi media “Menakar Keberpihakan Wakil Rakyat pada Isu Lingkungan. Seri Ketiga: Logika Sempit RUU Kelapa Sawit” di Jakarta, Rabu (10/04/2019).

BACA JUGA: Menko Luhut: Soal Sawit, Pemerintah Mengkaji untuk Memboikot Produk Eropa 

Sandrayati mengatakan banyak konflik yang terjadi dalam industri sawit terkait HAM. Data menunjukan pada tahun 2014-2015 ada sekitar 5 komunitas masyarakat dari 40 komunitas yang diperiksa terlibat konflik terkait kelapa sawit. Jika merujuk pada RUU Perkelapasawitan ini, tidak ada pasal yang mendukung komunitas masyarakat atau petani jika terjadi konflik.

“Jadi yang urgent saat ini di Komnas HAM menyangkut kelapa sawit adalah penyelesaian konflik. Selama Indonesia tidak menetapkan penyelesaian konflik secara komprehensif kita akan terus terbeban konflik, masyarakat adat 90% belum diakui. RUU Perkelapasawitan ini juga patut dipertanyakan apakah sudah sejalan dengan konstitusi karena kebijakan pembangunan harus berbasis HAM dan pelestarian lingkungan. Tanpa itu tidak berkelanjutan dan tidak mencerminkan bangsa Indonesia yang sangat beragam dari segi budaya, hukum adat, dan ekosistem,” tegasnya.

BACA JUGA: RUU Perkelapasawitan Dikhawatirkan Tabrak UU Lingkungan 

Senada dengan Sandrayati, Deputi Direktur Advokasi dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Andi Muttaqien juga mendesak agar RUU Perkelapasawitan ini dihentikan karena tidak menguntungkan rakyat maupun petani sawit. Andi menilai RUU Perkelapasawitan ini berpotensi menciptakan konflik norma karena substansi RUU Perkelapasawitan sebenarnya telah diatur dalam UU Perkebunan, UU Perdagangan, serta UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan PPLH.

Selain itu RUU ini akan memberi peluang pengampunan terhadap pelanggaran korporasi sementara pengaturan perlindungan terhadap petani mandiri serta buruh perkebunan minim. Andi juga menilai RUU ini memperburuk konflik lahan di sektor perkebunan kelapa sawit dan mengancam kawasan hutan dan gambut.

“Dari 105 pasal yang ada di RUU Perkelapasawitan tersebut hanya satu pasal yang menyebut kata petani. Ini mengindikasikan bahwa RUU Perkelapasawitan tidak untuk kesejahteraan petani namun sebaliknya,” kata Andi.

Penulis: Dewi Purningsih

Top