Siaga Hadapi El Nino

Reading time: 2 menit
Antisipasi kekeringan selama El Nino di lahan pertanian. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Puncak El Nino diperkirakan terjadi pada Agustus-September 2023. Perlu antisipasi kekeringan, pasokan air dan adaptasi pola tanam di sektor pertanian karena minimnya curah hujan.

Peringatan ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sampaikan dalam berbagai kesempatan. Terbaru, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati rapat bersama Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri di Istana Negara untuk menghadapi fenomena tersebut.

Selain kekeringan, perlu pula mewaspadai potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang memang sudah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.

El Nino merupakan fenomena pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML bisa meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto mengatakan, fenomena ini akan memberikan dampak yang sangat luas untuk wilayah Indonesia karena mampu mengurangi kandungan uap air di Indonesia.

Berdasarkan prediksi curah hujan bulanan BMKG, beberapa wilayah akan mengalami curah hujan bulanan kategori rendah, utamanya pada periode Agustus, September, dan Oktober 2023.

Wilayah tersebut meliputi Sumatra bagian tengah hingga selatan, Pulau Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.

Sektor Pertanian Terdampak

Senada dengannya, Koordinator Bidang Cuaca Esktrem BMKG Miming Syaifudin mengungkapkan, kondisi cuaca dan iklim dapat memengaruhi hampir seluruh sektor dalam kehidupan. Tetapi, sektor yang paling signifkan terganggu yaitu sektor pertanian. Sebab, ada potensi kekurangan pasokan air akibat kondisi cuaca dan musim yang lebih kering.

“Produktivitas pertanian bisa terganggu dan kondisi tersebut akan memengaruhi ketahanan pangan nasional. Petani perlu menyesuaikan pola tanam dengan menyesuaikan ketersediaan air berdasarkan prediksi curah hujan BMKG,” kata Miming kepada Greeners, Kamis, (20/7).

Perlu koordinasi agar informasi cuaca dan musim sampai kepada petani. Dengan begitu mereka dapat tepat memutuskan musim tanam, musim panen, dan varietas yang ditanam.

Pemadaman karhutla di Sragen, Jawa Tengah. Foto: BNPB

El Nino Moderat

Sementara itu, durasi atau panjang periode El Nino bergantung dengan intensitas atau levelnya. “Semakin kuat level El Nino, kemungkinan besar durasinya juga relatif lebih panjang,” kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Fachri Radjab.

Misalnya, El Nino kuat pada tahun 1982 hingga 1983, atau tahun 2015 sampai 2016. Pada tahun tersebut, El Nino mulai terjadi pada bulan Maret atau April. Kemudian di tahun pertama secara gradual terus meningkat intensitasnya dan mencapai puncak pada akhir tahun.

Selanjutnya, El Nino perlahan melemah menuju netral pada April atau Mei di tahun berikutnya. Namun, di tahun 2023, El Nino mulai terjadi pada bulan Juni dan diprediksi intensitasnya akan berkisar pada skala lemah hingga moderat saja.

Hingga awal Juli, El Nino 2023 belum signifikan dampaknya untuk menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia. Hal ini diduga beberapa faktor. Salah satunya suhu muka laut di perairan Indonesia masih hangat (di atas normal) yang berkontribusi pada meningkatnya potensi pertumbuhan awan.

Dalam mengantisipasi ancaman El Nino, BMKG berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Salah satunya rapat koordinasi karhutla di Provinsi Jambi.

Selain itu, sejak awal tahun 2023, BMKG telah melakukan penyebaran informasi peringatan terkait kemungkinan munculnya El Nino 2023. Termasuk kepada presiden.

Penulis : Dini Jembar Wardani

Editor : Ari Rikin

Top