Tekan Laju Krisis Iklim, Realisasikan Transisi Energi Baru Terbarukan

Reading time: 3 menit
Pemanfaatan energi baru terbarukan sebagai pengganti energi kotor sangat berperan menekan laju perubahan iklim. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia terbilang besar. Indonesia memiliki target pemanfaatan Energi baru terbarukan hingga 23 %. Namun, saat ini penggunaan energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi masih mendominasi. Padahal jika Indonesia punya komitmen menekan laju perubahan iklim, pemanfaatan energi baru terbarukan wajib terealisasi. Sebab penggunaan energi fosil hanya akan meningkatkan emisi karbon yang bisa mempercepat laju perubahan iklim.

Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya mendorong pemerintah untuk segera melakukan transisi energi. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam mengatasi krisis iklim.

“Seluruh Indonesia akan terdampak krisis iklim. Sehingga merupakan tanggung jawab bagi pemerintah menunjukkan kepemimpinannya dan keberpihakannya kepada seluruh rakyat yang akan terdampak untuk bisa mengatasi krisis iklim. Makanya kita dorong bahwa ini bukan pilihan tapi kewajiban pemerintah untuk melakukan transisi energi,” tegasnya di dalam webinar di Jakarta, Rabu (23/11).

Dalam webinar bertajuk Transisi Energi untuk Menghentikan Krisis Iklim: Jangan Sekadar Lip Service ini, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Leon Alvinda Putra sebagai perwakilan generasi muda juga berpendapat, jika transisi energi tidak dilakukan maka generasi selanjutnya akan menanggung beban untuk mencari sumber energi alternatif sekaligus merasakan dampak dari krisis iklim.

“Dampak buruk dari energi batu bara mendegradasi kualitas hidup yang nanti akan diterima oleh generasi mendatang. Bagaimana generasi di tahun 2050 itu akan merasakan dampak-dampak dari peningkatan suhu bumi karena krisis iklim,” kata Leon.

Potensi Energi Baru Terbarukan Indonesia Tinggi

Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan sangat tinggi. Namun perkembangan kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan masih sangat minim daripada negara-negara lainnya.

“Potensi dan realisasinya sangat jauh. Bahkan sebagian besar di bawah 1 %. Potensi surya kita sangat tinggi, air juga lumayan tinggi tetapi yang lain sangat rendah sekali. Jadi ini way below potensial, kita bisa mengurangi impor BBM yang cukup membebani devisa dan melemahkan nilai tukar, kalau kita lebih banyak meningkatkan dan merealisasikan potensi energi baru terbarukan,” jelas Berly.

Kemudian pada Agustus 2021, batu bara masih mendominasi bauran energi di Indonesia. Besaranya mencapai 65,6%. Sementara untuk EBT masih 13,54%. Angka ini masih jauh dari target pemerintah yang menginginkan EBT sebanyak 23% pada tahun 2025 mendatang.

Associate Director Climate Policy Initiative (CPI) Tiza Mafira mengatakan, dalam melakukan transisi energi ini membutuhkan kebijakan yang konsisten dan sejumlah hal pendukungnya.

“Transisi energi memerlukan paket kebijakan yang konsisten. Kalau kita ingin melakukan transisi energi dengan terstruktur dan berfase dari tahun ke tahun maju ada beberapa hal yang mesti kita lakukan. Perlu ada upaya mengurangi suplai batu bara, mengurangi demand dari PLTU batubara dan mengurangi demand dari konsumen,” paparnya.

Energi nabati menjadi salah satu jenis energi baru terbarukan. Foto: Shutterstock

Programnya Sudah Ada Tinggal Realisasikan EBT

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengungkapkan, terkait energi baru terbarukan pemerintah juga telah memiliki peta jalan atau road map terkait energi nasional. Dalam road map tersebut, porsi EBT akan terus meningkat dari yang sebelumnya hanya 8,6 % menjadi 23 %.

“Kita sudah memiliki road map rencana energi nasional. Komitmen kita untuk porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi itu meningkat. Dari tahun 2019 di 8,6 % menuju 23 % di tahun-tahun yang akan datang,” ungkapnya.

Salah satu upaya transisi energi yaitu dengan skenario phase out pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menuju target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 mendatang.

Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, pemerintah telah memiliki road map terkait transisi energi ini, namun terkendala keuangan. Menurutnya, road map sulit terealisasi tanpa ada dukungan dari pihak lain.

“Kita tidak mengiba, tidak mengemis ke orang-orang atau ke luar negeri agar phase out ini bisa dipercepat. Kami menawarkannya begini, kalau kamu ingin ikut support, ayo. Kita bisa lakukan di tahun 2040 atau 2050. Tapi show me the money, mana uangnya. Ini yang kemarin mengemuka di Glasgow. Sementara begitu uang ada kita sudah punya programnya,” pungkasnya.

Penulis : Fitri Annisa

Top