Krisis Iklim Landa Dunia, Ini Pesan untuk Pemerintah di COP-26

Reading time: 3 menit
Emisi tanpa kendali meningkatkan keparahan dampak krisis iklim. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Menjelang konferensi negara-negara pihak (COP-26) perubahan iklim di Glasgow Skotlandia, Komunitas Peduli Krisis Iklim mengirim pesan kepada Pemerintah Indonesia. Pesan tersebut yakni perlunya memastikan pembangunan ekonomi hijau, menekan emisi dari energi dan sampah serta mendorong energi terbarukan.

Dalam COP-26 yang akan berlangsung 31 Oktober-12 November 2021 menjadi bagian dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Rencananya 197 negara akan membahas perubahan iklim global dan rencana menghindari krisis iklim. Presiden Joko Widodo rencananya akan hadir dalam COP-26.

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Chenny Wongkar mengatakan, untuk menyumbang peran dalam hal sebegitu besar bukan perkara mudah. Indonesia perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi untuk mencapai target dunia mengurangi emisi.

Menurutnya rencana pembangunan harus hijau, adil dan seimbang. Tidak hanya memburu pertumbuhan, tapi harus bertumpu pada kesejahteraan bersama serta kesadaran menjaga lingkungan.

“Pembangunan semacam ini harus mengedepankan jaminan bahwa kondisi lingkungan hidup tetap terjaga, menunjang kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi krisis iklim,” katanya di Jakarta, Rabu (27/10).

Krisis Iklim Tingkatkan Suhu dan Bencana

Krisis iklim di depan mata. Tahun lalu cuaca ekstrem dan pandemi Covid-19 menjadi hantaman ganda bagi jutaan warga berbagai benua. Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tahun 2020 menjadi satu dari tiga tahun terhangat yang pernah tercatat meski La Nina yang dingin sedang berlangsung.

Lebih dari 30 juta orang menyingkir akibat peristiwa bencana karena adanya cuaca buruk. Di Indonesia, sekitar 6,3 juta penduduk mengungsi karena terdampak bencana hidrometeorologi seperti hujan, banjir atau tanah longsor.

Suhu rata-rata global tahun lalu 1,2 derajat Celsius lebih tinggi ketimbang era praindustri (1850–1900). Padahal, sesuai target bersama, dunia ingin menghindar dari kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius sembari membidik net zero emission (NZE) pada tahun 2060 demi mengurangi dampak perubahan iklim.

Dalam konteks ini, Indonesia berperan penting untuk ikut mengerem peningkatan suhu bumi. Sebagai negara dengan tutupan hutan tropis luas, Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya yang bakal menentukan arah untuk menghadapi krisis iklim.

Bencana menjadi indikator terjadi krisis iklim. Foto: Shutterstock

COP-26 Dorong Zero Emisi 

Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo mengungkapkan, sektor energi pada tahun 2030 perkiraannya akan menghasilkan emisi lebih dari 1.100 juta ton CO2e. Sementara, Indonesia diharapkan telah menurunkan emisi agar dapat meraih NZE sebelum tahun 2060. Di sisi lain, energi fosil masih mendominasi 91 % transportasi domestik.

Ia menyebut, jika transisi energi hanya pada sumber energi tak terbarukan seperti batubara cair atau gas, peralihan menuju energi terbarukan sesungguhnya malah akan terhambat. “Indonesia perlu transisi secara menyeluruh dari sumber energi berbasis fosil ke energi bersih dan terbarukan,” tegas Deon.

Sementara itu di sektor lainnya, Salma Zakiyah, dari Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan mengungkapkan, ekosistem gambut, hutan, mangrove dan laut adalah penyerap karbon yang luar biasa dan vital dalam melindungi masyarakat dari dampak krisis iklim.

Dalam empat tahun terakhir Indonesia mampu meredam laju deforestasi. Namun, belum semua bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa Indonesia terlindungi. Artinya, sekitar 9,6 juta hektare hutan alam Indonesia dan 2,8 juta hektare ekosistem gambut masih terancam mengalami penggundulan.

Pemerintah juga harus merealisasikan target 12,7 juta hektare perhutanan sosial, agar masyarakat adat atau warga lokal bisa turut menjaga hutan. Selain itu, hutan-hutan yang telah rusak dan terbakar juga perlu rehabilitasi.

Tekan Emisi dari Sampah di COP-26

Target NZE alias nol emisi pun perlu sektor sampah dorong. Pengelolaan sampah seharusnya secara menyeluruh upayanya harus terimplementasi dari produksi hingga konsumsi.

Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia, Yobel Novian Putra berpendapat, selama ini ada kesalahan fokus pengelolaan sampah di Indonesia. Seyogianya, pengelolaan sampah harus fokus sejak dari hulu alias produsen dengan menegakkan extended producer responsibility (EPR). Di sini produsen wajib mengubah desain kemasan dari sekali pakai menjadi isi ulang. Semua kemasan hasil produksi harus bisa didaur ulang, atau tidak menggunakan bahan berbahaya.

Di sisi hilir atau konsumen, perlu ada sanksi tegas harus bagi mereka yang tak memilah sampah. “Konsumen juga perlu difasilitasi untuk mendaur ulang sampahnya. Jika hanya fokus pada hilir, tak akan menyelesaikan masalah,” imbuh Yobel.

Pemerintah juga perlu menghapus teknologi pembakaran sampah (thermal incinerator). Sebab, cara ini menghasilkan emisi gas rumah kaca dan abu yang serius. Langkah yang perlu ditempuh adalah memacu pengomposan sampah domestik.

Dengan menerapkan metode tersebut, maka volume sampah bisa berkurang. Lahan uruk saniter (sanitary landfill) dan lahan uruk terkontrol (controlled landfill) juga perlu lebih optimal untuk mengurangi pelepasan gas metana dari sampah.

Saat ini, ada 514 tempat pembuangan akhir sampah kota/kabupaten yang masih memberlakukan sistem terbuka (open dumping) dan diproyeksikan melepas gas metana 296 MT CO2e pada tahun 2030. Oleh sebab itu, komitmen dunia di COP-26 menekan emisi menjadi jaminan kehidupan bumi di masa mendatang.

Penulis : Fitri Annisa

Top