TPA adalah Hidup Kami

Reading time: 4 menit
tpa
Foto: greeners.co/Harry Surjadi

(Greeners) – Hari Senin, 12 Maret 2018, sekitar pukul 12 siang, Ijat mengangkat karung plastik berisi botol-botol beling mendekat ke kaitan timbangan logam atau dacin logam yang digantung pada kusen bangunan untuk pengomposan sampah. Ijat menggeser logam pengukur yang karatan itu, ia melihat angka yang menunjukkan berat botol-botol beling itu dan menulis berat itu di buku tulis.

Satu-per-satu karung-karung berisi barang-barang rongsok logam besi dan aluminium, plastik kemasan atau plastik kresek, botol plastik dan gelas plastik bekas kemasan air minum ditimbang Ijat dan dicatat hasil timbangannya. Itulah salah satu pekerjaan Ijat di Tempat Pembuangan Akhir Jeruklegi, Cilacap.

Masih puluhan karung plastik berisi rongsok terserak di lahan terbuka seluas kurang lebih 20 m x 20 m di belakang bangunan semi permanen untuk pengomposan dan di sebelah garasi back-hoe. Masih ada lagi tumpukan di belakang garasi. Semua itu hasil kerja para pemulung di TPA Jeruklegi.

Di TPA Jeruklegi ada 130 pemulung, kata Tumiran, salah satu pemulung. Tumiran bekerja memulung bersama istrinya. Hasil kerja pemulung itu kemudian disetor ke pengepul. Ada empat pengepul di TPA Jeruklegi, salah satunya adalah orangtua Tumiran. Ijat bekerja membantu orangtua Tumiran.

Tumiran sudah menjadi pemulung saat masih sekolah kelas 4 SD. Setiap hari para pemulung bekerja mulai pukul 05.00 atau 06.00 hingga pukul 15.00 atau 16.00. Bulan Maret saat-saat panen, banyak pemulung pulang kampung untuk membantu memanen di sawah, saat itu tidak banyak yang bekerja di TPA Jeruklegi.

Pemulung itu orang bebas, kata Tumiran. “Kalau ingin kerja ya bekerja, kalau ingin istirahat ya istirahat. Tidak mau diatur-atur waktu kerjanya,” Tumiran mengakui. Kalau rajin bisa menghasilkan cukup untuk hidup berkeluarga.

“Rata-rata sehari bisa dapat seratus ribu,” kata Tumiran. Sebulan seorang pemulung bisa membawa uang Rp 3 juta. “Paling rendah bisa bawa pulang satu juta,” ungkap Tumiran.

Sehari Tumiran bisa mengumpulkan 5 kg botol plastik kemasan; 50-60 kg kantong kresek, 20 kg botol shampo, 30-40 kg kertas, 5 kg alumunium, 20 kg besi, 10 botol beling besar dan 20 kg botol beling kecil.

Plastik-plastik kemasan yang warnanya putih biasanya dikirim oleh pengepul ke Rembang dan plastik yang berwarna ke Rembang. Rongsok lainnya dikirim ke berbagai tempat lainnya.

“Gelas Aqua paling mahal, 4 ribu per kilogram. Kalau gelas minuman berwarna hanya 2.200,” kata Satena, pengepul di luar kawasan TPA Jeruklegi yang bertugas menjaga lapak Tukam, suaminya. Satena membayar Rp 3.000 untuk sekilogram botol minum plastik yang transparan. Kaleng alumunium dibeli Satena antara Rp 10.000 – Rp 12.000 per kilogram.

Biasanya ada kurang lebih 50 pemulung yang membawa rongsok ke lapaknya Satena. “Yang rutin 20 pemulung. Pas mau lebaran bisa 100 pemulung nyetor ke sini,” kata Satena.

Proyek percontohan pembangunan fasilitas produksi bahan bakar dari sampah atau refuse-derived fuel (RDF) di TPA Jeruklegi, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap yang harus selesai akhir 2018 ini akan mengajak pemulung di dalam proses. Pemulung akan diberikan kesempatan untuk mengambil rongsok seperti biasa, demikian janji Kun Nasython, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap yang juga Kepala UPT Proyek RDF ini, kepada peserta diskusi di Hotel Fave, Cilacap, Kamis, 22 Maret 2018.

Sayangnya pemulung belum pernah diajak diskusi mengenai proyek ini. “Pernah dikumpulkan sekali,” kata Tumiran, “tapi saya tidak ikut.” Sekali lagi saat bertemu dengan tim peneliti dari Universitas Gajah Mada. Sampai awal 2018 tidak ada upaya dari Pemda Cilacap – yang akan mengelola fasilitas produksi RDF ini – mengajak pemulung atau bertanya apa keinginan pemulung.

Padahal studi awal mengenai pemulung di Jeruklegi oleh konsultan Danida, agar rencana proyek ini menjadi lebih matang, merekomendasikan pelaksana proyek “…mengundang pemulung untuk berpartisipasi dalam perumusan proyek, dan menjadi lebih komprehensif, dengan memperluas perlakuan terhadap pendauran ulang sampah melalui keikutsertaan pendaur ulang formal, semi-formal, dan formal lainnya…”

Survei UGM pada 107 pemulung di TPA Jeruklegi, sebanyak 91% memulung adalah pekerjaan utama dan 88,8% bekerja penuh sebagai pemulung. Sebagian besar pemulung – 93 orang – memiliki lebih dari dua anggota keluarga yang juga memulung dan memulung adalah penghasilan utama mereka.

“Memulung adalah hidup kami,” komentar pemulung yang dicatat di hasil survei UGM. Pernyataan lebih kuat, “TPA adalah hidup kami,” menggambarkan para pemulung sangat tergantung pada TPA Jeruklegi untuk menopang hidup mereka.

Kegiatan pemulung di TPA Jeruklegi termasuk ilegal karena Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Cilacap dan TPA Jeruklegi tidak memiliki prosedur yang jelas dalam mengelola TPA, tidak ada petunjuk operasional, tidak ada pejabat publik yang jelas sebagai penghubung antara pemerintah dan pemulung. Memang – seperti diungkapkan Tumiran – ada satu pemulung Pak Turmin yang biasa mewakili mereka ketika harus bertemu dengan Pemda Cilacap.

Tetapi ketika diwawancara oleh Tim UGM, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang menyangkal punya otoritas atas pemulung dan menyatakan pendaur ulang informal bukan urusan mereka. Memang Dinas mencatat jumlah pemulung yang beraktivitas di Jeruklegi meskipun tidak diperbarui dan tidak akurat.

Dinas Sosial Kabupaten Cilacap mengatakan pemulung belum menjadi salah satu target program. Program Dinsos baru menjangkau pengemis, gelandangan, orang tidak dikenal, dan orang miskin.

Selama ini sejauh tidak terjadi konflik, pemulung dibiarkan beraktivitas mengambil rongsok yang masih ada nilai ekonomi. Karena ilegal, tidak tersedia tempat bagi pemulung menaruh hasil pulungan mereka. Rongsok digeletakkan di lahan kosong, di bawah pohon di dalam areal TPA Jeruklegi. Sewaktu-waktu para pemulung bisa saja dilarang bekerja dan keluar dari kawasan TPA Jeruklegi.

Apa keinginan pemulung, terutama 130 pemulung yang beraktivitas di TPA Jeruklegi?

Pemulung butuh tempat penampungan sementara rongsok hasil mereka di kawasan TPA Jeruklegi, ungkap Tumiran. Survei UGM juga menunjukkan pemulung membutuhkan tempat menyimpan hasil pungutan yang aman. Yang ada saat ini adalah tempat terbuka, jika hujan kebasahan dan sewaktu-waktu bisa digusur.

Sarana air untuk cuci tangan menjadi kebutuhan para pemulung. Saat ini tidak ada sarana air dan toilet. Selain dua kebutuhan utama, pemulung berharap ada sarana alat kerja yang lebih baik. Ketika ditanya Tumiran meminta ada penyemprotan lalat yang rutin.

Pemulung mengharapkan hubungan yang egaliter antara pemulung dan petugas TPA atau pengelola TPA. “Pemulung adalah pekerja bebas,” kata Tumiran. Makna “pekerja bebas” bagi pemulung adalah “tidak ingin diatur,” termasuk membentuk organisasi formal, seperti koperasi atau asosiasi pemulung.

Kun Nasython menjanjikan pemulung yang beraktivitas di Jeruklegi akan didata. Hanya mereka yang terdata dan sudah lama beraktivitas di Jeruklegi yang akan diberikan kesempatan terlibat di kegiaan produksi RDF. “Tidak boleh ada tambahan lagi pemulung dari luar,” kata Kun.

Nanti, kata Kun menjelaskan lebih rinci, pemulung akan dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok akan mendapatkan kesempatan memulung selama 15 menit di tempat penumpahan sampah dari dump-truck. Setelah 15 menit, bergantian kelompok kedua dan seterusnya.

Menurut Kun nanti pemulung akan diuntungkan karena tempat mereka kerja terlindung dari hujan dan terik matahari, karena ada atapnya. Risiko terluka akan sangat minim. Mereka juga akan mendapatkan akses untuk sarana cuci tangan dan kesehatan. “Kesempatan mereka tidak akan berkurang,” ujar Kun.

Sayangnya niat baik itu belum pernah disampaikan langsung kepada para pemulung. Masih ada waktu setengah tahun sebelum proyek percontohan produksi RDF ini berjalan untuk secepatnya merangkul para pemulung.

Pemda Cilacap perlu membentuk tim untuk rekayasa sosial agar pemulung tidak merasa diasingkan, tersingkir, dan akibatnya mereka tidak mendukung proyek percontohan ini. Satu yang pasti, Tumiran dan teman-temannya, tidak ingin menjadi “pegawai” di fasilitas produksi RDF ini.

Penulis: Harry Surjadi

Top