Walhi: Angka Deforestasi Turun karena Hutan telah Dibabat Habis

Reading time: 3 menit
Presiden Joko Widodo mengklaim angka deforestasi turun. Foto: Instagram Joko Widodo
Presiden Joko Widodo mengklaim angka deforestasi turun. Foto: Instagram Joko Widodo

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti klaim Presiden Joko Widodo terkait keberhasilan penurunan angka deforestasi di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 di Dubai, Jumat (1/12). Walhi menilai, klaim keberhasilan tersebut bertentangan dengan kebijakan dan aksi iklim yang sedang pemerintah jalankan.

“Pemerintah mengklaim angka deforestasi di Indonesia menurun. Namun, penurunan ini bukan karena usaha keras pemerintah, melainkan karena hutan di Sumatra dan Kalimantan telah habis. Ini karena ekspansi perizinan di sektor kehutanan perkebunan sawit dan tambang,” ungkap Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian di Forum Iklim COP28. 

BACA JUGA: COP28, Norwegia Bayar US$100 Juta untuk Tangani Krisis Iklim Indonesia

Uli menambahkan, beberapa wilayah seperti Maluku, Sulawesi, dan Papua mengalami tingkat deforestasi yang tinggi. Sebab, Maluku dan Sulawesi telah dieksploitasi untuk tambang dan nikel. Sementara, Papua untuk perkebunan sawit dan izin di sektor kehutanan.

Namun, di sisi lain, Jokowi menyebutkan Indonesia akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Selain itu, ia juga mengklaim berbagai keberhasilan Indonesia lainnya. Mulai dari pengurangan emisi sebesar 42 persen, transisi energi, hingga transisi ekonomi berkelanjutan.

Menurut Walhi, kontradiksi itu terlihat dalam berbagai hal. Pertama, target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat tidak akan pernah terwujud. Apalagi, mesin utama pertumbuhan ekonomi menggunakan model ekonomi ekstraktif tinggi emisi.

Fakta menunjukkan, model ekonomi ekstraktif menyebabkan krisis iklim, konflik sosial, perampasan ruang hidup rakyat, dan melipatgandakan bencana ekologis. Hal tersebut telah mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat.

Model ekonomi ekstraktif seperti hilirisasi pertambangan nikel masih akan berlanjut. Itu terlihat dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Model ekonomi ekstraktif ini membuat target NZE pada 2060 atau lebih cepat tampak seperti mimpi di siang bolong.

Walhi menyebut angka deforestasi turun imbas hutan telah gundul. Foto: Freepik

Walhi menyebut angka deforestasi turun imbas hutan telah gundul. Foto: Freepik

Perdagangan Karbon Timbulkan Konflik Baru

Sementara itu, pemerintah telah merespons situasi krisis iklim ini dengan membuat mekanisme pasar karbon di bawah Bursa Efek Indonesia. Mekanisme perdagangan karbon ini telah menjadi mandat pemerintah. Namun, proyek dalam mekanisme itu justru menimbulkan konflik baru. 

“Sudah ada beberapa proyek beroperasi di Indonesia. Misalnya, proyek karbon Katingan Mentaya di Kalimantan Tengah yang sedang berkonflik dengan komunitas masyarakat adat. Bukan hanya itu, di area proyek itu juga terdapat deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan terus terjadi. Shell sebagai penyumbang terbesar salah satu pembeli karbon dalam proyek ini,” tambah Uli. 

Selain itu, perdagangan karbon juga beroperasi di Papua, Maluku, Sumatera dan Kalimantan. Menurut Uli, ketika merespons situasi krisis iklim ini dalam konteks energi di Indonesia, pemerintah juga sedang membuat hutan tanaman energi untuk biomassa. 

Data TrendAsia menyebutkan bahwa butuh 2,3 juta hektare (Ha) hutan tanaman energi untuk memenuhi 10% co-firing di 107 unit PLTU. 

“Hal itu akan berpotensi menyebabkan deforestasi. Paling tidak, mencapai 613.000 hektare dan kemungkinan mencapai 2,1 juta hektare di Papua,” ujar Uli. 

Emisi Sektor Energi di Indonesia Meningkat

WALHI melaporkan dalam dua puluh tahun terakhir emisi sektor energi di Indonesia telah meningkat. Bahkan, lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia.

Ekstraksi pertambangan nikel juga menyebabkan deforestasi hingga 25.000 Ha dalam 20 tahun terakhir. Itu akan terus meningkat. Sebab, pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 Ha, yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2.

BACA JUGA: COP28, BMKG Tunjukkan Antisipasi Bencana di Pesisir

Kontradiksi kedua, keberhasilan penurunan emisi sebesar 42% pada tahun 2020-2022 dibandingkan BAU tahun 2015 adalah manipulasi angka melalui teknik cherry picking. Emisi pada tahun 2015 adalah emisi tertinggi pada rentang periode tahun 2000-2020.

Laporan IGRK (Inventarisasi Gas Rumah Kaca) KLHK menyebut, emisi pada 2015 mencapai 2.339.650 gigaton CO2e. Emisi tertinggi bersumber dari kebakaran hutan dan lahan, terutama pada ekosistem gambut.

Masyarakat Sipil Serukan Aksi Iklim Berkeadilan di COP28

Dalam momen COP28 pada 30 November hingga 12 Desember ini, masyarakat sipil Indonesia juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan dunia untuk mengeluarkan komitmen politik dan mandat yang tegas. Khususnya dalam meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.

Seruan tersebut berasal dari 19 organisasi masyarakat sipil. Mereka ingin ada asistensi bagi negara-negara dan komunitas yang paling terdampak serta memiliki kapasitas terendah dalam merespons krisis iklim. Mereka menyatakan  COP 28 harus menyepakati target besaran dana untuk mengatasi kerusakan dan kerugian akibat krisis iklim (Loss & Damage).

Negara-negara maju berdasarkan prinsip CBDR (Common But Differentiated Responsibility) harus secepatnya memberikan porsi pendanaan yang adil, memadai, serta baru. Sehingga, operasionalisasi pendanaan Loss & Damage yang paling efektif dapat segera terlaksana.

Selain itu, mereka juga menyerukan beberapa hal lainnya. Di antaranya perkuat komitmen iklim (NDC) sesuai dengan hasil Global Stocktake, adopsi target global untuk phasing out all fossil fuels, serta mengakui gagalnya kepemimpinan negara-negara kaya dalam mencegah kerusakan bumi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top