Walhi: Corak Ekonomi Ekstraktif Masih Jadi Pilihan Cawapres

Reading time: 3 menit
Debat cawapres terkait ekonomi ekstraktif. Foto: KPU
Debat cawapres terkait ekonomi ekstraktif. Foto: KPU

Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti debat perdana calon wakil presiden (cawapres) terkait ekonomi ekstraktif yang masih menjadi pilihan untuk pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kenyataannya, ekonomi ekstraktif telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan memperburuk kualitas lingkungan hidup.

Fakta pun menunjukkan bahwa model ekonomi ekstraktif telah menyebabkan krisis iklim akibat tingginya lepasan emisi ke atmosfer, konflik sosial, dan perampasan ruang hidup rakyat. Bahkan, melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat.

BACA JUGA: Aliansi Sulawesi Tolak Rencana Cawapres tentang Hilirisasi Nikel

Corak ekonomi ekstraktif ini juga berdampak pada menyempitnya ruang demokrasi dengan tingginya kriminalisasi terhadap rakyat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Selama 20 tahun terakhir, emisi sektor energi di Indonesia pun telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi.

Pertumbuhan Ekonomi Ekstraktif Hanya Dinikmati Segelintir Orang

Dengan 600 juta ton karbon dioksida (CO2) dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia. Hilirisasi pertambangan mineral kritis seperti nikel juga menyebabkan deforestasi hingga 25.000 Hektare (Ha) dalam 20 tahun terakhir. Hal itu akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 Ha yang dapat menambah 83 juta ton emisi CO2.

“Tapi bagi kami perdebatan soal pertumbuhan ekonomi oleh kandidiat cawapres ini, terus bicara soal bagaimana mengelola pertumbuhan ekonomi melalui pajak, misalnya nikel dan sebagainya. Selama ini, corak ekonomi kita kan adalah ekonomi ekstraktif pertambangan, perkebunan, dan sebagainya,” ungkap Pengkampanye Polusi dan Urban Walhi, Abdul Ghofar kepada Greeners, Rabu (27/12).

Ghofar menambahkan, pertumbuhan ekonomi secara ekstraktif ini justru hanya dinikmati oleh segelintir orang. Misalnya, 10 orang di Indonesia terkaya sekarang yang mayoritas konglomerat banyak berbisnis di bidang pertambangan dan perkebunan.

“Ekonomi ekstraktif ini menyejahterakan orang kaya semakin kaya. Sementara itu, dampak lingkungan yang terjadi justru memiskinkan orang-orang di wilayah tambang. Contohnya di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara yang masuk di dalam lingkar tambang nikel,” tambah Ghofar.

Cawapres Perlu Perhatikan Pelayanan Dasar Masyarakat

Sementara itu, Ghofar menilai  para kandidat cenderung menyebut bahwa pemerataan ekonomi hanya bisa muncul melalui proyek skala besar. Kemudian, muncullah Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai simbol pemerataan ekonomi. Padahal, yang perlu mendapat perhatian adalah pelayanan dasar untuk masyarakat.

“Kami melihat semua orang butuh kesejahteraan untuk pemerataan ekonomi. Namun, caranya memang semestinya tidak melalui proyek-proyek yang skalanya besar. Coba dorong hal dasar apa yang masyarakat butuhkan. Sebab, sekarang sudah muncul kan keresahan-keresahan soal jalan raya, akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan,” ungkap Ghofar.

Misalnya, soal layanan kesehatan, penting untuk memperhatikan akses kesehatan sanitasi dan sebagainya. Menurut Ghofar, semestinya cawapres memperhatikan hal tersebut. Namun, sayangnya, hal itu masih minor. Ghofar pun berharap perdebatan pemerataan ekonomi, kesejahteraan masyarakat itu paling mendasar yaitu soal kesehatan, stunting, pendidikan, dan infrastruktur dasar.

“Itu yang mungkin harus cawapres perhatikan alih-alih skala besar seperti pelabuhan raksasa. Jadi, pelayanan dasar itu penting, seperti air, sanitasi, kebersihan. Termasuk pelayanan pengelolaan sampah itu mungkin titik keseimbangan soal ekonomi,” imbuh Ghofar.

Ilustrasi pembangunan proyek IKN. Foto: Shutterstock

Ilustrasi tambang nikel. Foto: Shutterstock

Proyek IKN Dinilai Bermasalah

Pada pembahasan mengenai IKN, dua kandidat cawapres yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud MD menunjukkan dukungan pada proyek tersebut. Gibran menyebut IKN sebagai simbol pemerataan ekonomi nasional dan dibangun dengan hanya menggunakan 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Sementara, Mahfud MD menyatakan dukungan pada IKN sebagai warisan dari periode pemerintahan Jokowi. Dia mengkritisi pada setidaknya dua hal, penggunaan APBN pada proyek IKN dan penguasaan lahan skala besar oleh segelintir orang di wilayah IKN.

BACA JUGA: Isu Hak Atas Lingkungan Hidup Hilang saat Debat Capres

Menurut Walhi, proyek IKN adalah proyek bermasalah, baik secara sosial, ekologis, maupun secara yuridis. Pemindahan ibu kota tidak menjawab masalah sosial dan lingkungan hidup di Jakarta. Selain itu, proyek itu juga tidak menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi.

Sebaliknya, Walhi menilai proyek ini justru memberi karpet merah pada segelintir korporasi yang menguasai tanah skala besar pada lahan IKN. Sementara, penggunaan APBN dalam pembangunan IKN yang mendapat legitimasi oleh UU IKN kontradiktif dengan janji Jokowi yang tak akan membebani APBN pada proyek IKN.

Pembangunan 40 Kota Baru Juga Problematis

Sementara itu, salah satu Cawapres, Muhaimin Iskandar, menyampaikan kritik terhadap pembangunan IKN yang akan menggunakan APBN hingga sekitar 500 triliun rupiah. Menurut Muhaimin, besarnya anggaran tersebut dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur lain seperti jalan dan sekolah di Kalimantan.

Dia menyebut akan membangun 40 kota baru setara Jakarta. Pernyataan mengenai 40 kota baru tersebut menurut Walhi sangat problematis dan menunjukkan kegagalan dalam memahami masalah-masalah perkotaan. Ketimbang berambisi membangun kota-kota metropolitan baru, seharusnya kandidat terpilih berusaha menciptakan perkotaan yang humanis dan inklusif.

Misalnya, membangun sistem transportasi publik, hunian layak dan terjangkau, penyediaan sanitasi, air, pengelolaan sampah yang baik, dan perbaikan kualitas lingkungan hidup. Perkotaan juga tidak boleh dilihat hanya sekadar gedung pencakar langit, namun juga menyoal hak atas kota bagi warganya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top