Waspada, Merkuri di Kosmetik dan Lingkungan Picu Penyakit Serius

Reading time: 3 menit
Merkuri di lingkungan
Merkuri beri dampak pada lingkungan dan kesehatan manusia. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Bahaya merkuri tidak hanya mengintai lingkungan tetapi juga kesehatan khususnya kulit. Kandungan merkuri kemungkinan masih ada dalam berbagai macam produk kosmetik yang beredar di pasaran yang tak mengantongi izin resmi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Krim komestik itu bisa berupa krim pagi, malam, anti aging, pemutih ketiak, maskara dan toner. Penggunaan kosmetik bermerkuri itu akan membuat iritasi kulit dengan tanda ruam kemerahan, gatal dan perih, timbul flek hitam dan kulit mudah mengelupas. Selain itu kulit yang telah terkena merkuri ini lebih berisiko terkena bakteri, jamur hingga mengalami kanker kulit.

Dermatovenereologist Nenden Sobarna mengatakan, komestik mengandung merkuri memiliki banyak dampak bagi kesehatan kulit. Dokter spesialis kulit dan kelamin ini menyebut risiko terburuknya bisa menyebabkan kanker.

“Dampaknya cukup banyak. Akan terjadi kelainan pada kulitnya dan yang paling berbahaya risiko terjadinya kanker kulit. Dan itu dapat menyebabkan kematian kalau sudah diare, terjadi shock. Bukan hanya sakit sementara bisa tetapi bisa menyebabkan kematian,” kata Nenden dalam diskusi virtual Merkuti Bikin Rugi di Jakarta, Rabu (13/10).

Hadir dalam kesempatan itu Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati dan artis senior Diah Permatasari.

Nenden menjelaskan, masyarakat harus jeli memilih kosmetik. Cermati ciri-ciri produk kecantikan terindikasi mengandung merkuri. Pertama, tidak ada label BPOM. Kedua, label kemasan menggunakan bahasa asing selain Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Ketiga, terdapat petunjuk pada produk untuk menghindari kontak dengan emas, perak, karet, alumunium atau perhiasan.

“Apabila telah terkontaminasi merkuri segera mencuci tangan dan bagian tubuh yang terpapar merkuri. Lalu perbanyak konsumsi air putih, makanan nutrisi seimbang khususnya serat tinggi dan konsultasi dengan dokter,” paparnya.

bahaya merkuri

Waspada amalgam gigi yang mengandung merkuri. Foto: Shutterstock

Tak Hanya di Kosmetik, Merkuri Intai Lingkungan

Dunia menyadari bahaya merkuri bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Oleh sebab itu, pascakejadian bencana merkuri di Minamata, lahirlah Konvensi Minamata. Konvensi atau pakta internasional ini memuat upaya perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan dari emisi dan pelepasan antropogenik merkuri dan senyawa merkuri.

Merkuri dan senyawa merkuri memiliki dampak berbahaya bagi manusia dan organisme lainnya. Krisis kesehatan akibat keracunan merkuri ini mencuat pertama kali pada penyakit Minamata dan penyakit Niigata Minamata tahun 1972.

Merkuri atau air raksa merupakan logam berat yang memiliki nomor atom 80 dan sangat berbahaya karena bersifat toksik (beracun). Bahan ini persisten di lingkungan, bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfer. Merkuri kerap dekat dengan barang-barang keseharian manusia seperti pada lampu, batu baterai, kosmetik ilegal, termometer dan amalgam gigi.

Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, saat ini pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menarik seluruh alat kesehatan yang mengandung merkuri dari peredaran. Penarikan alat kesehatan dari peredaran itu kemudian KLHK kelola agar tidak memaparkan pencemaran ke lingkungan.

Ia menambahkan, pencemaran merkuri umumnya berasal dari kegiatan industri atau pertambangan ilegal. Pertambangan biasanya menggunakan cairan perak merkuri untuk memisahkan butiran emas dari material batuan. Kemudian sisa batuan atau lumpur yang bercampur dengan merkuri lantas terlepas ke aliran sungai hingga ke laut.

“Ada persoalan merkuri. Merkuri itu enggak bisa dikelola. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah kita ekspor ke Jepang. Jepang masih mau terima. Tetapi di tahun 2030 dia (Jepang) sudah tidak mau terima lagi,” ungkap Vivien.

Menurutnya, pengelolaan merkuri terbilang sulit. Indonesia harus bersiap menyediakan ruang untuk menyimpannya karena Jepang tak lagi menerima ekspor merkuri.

Kebut Pengurangan dan Penghapusan 

Indonesia terus mengebut pengurangan dan penghapusan merkuri di segala sektor pascaratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang-undang No 11 Tahun 2017 Tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury. Selanjutnya terbit Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM).

Bahkan tahun 2021, Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan ke-4 konferensi para pihak (COP-4) Konvensi Minamata pada 1-5 November 2021 di Bali.

“Pembahasan paling utama pengurangan dan penghapusan merkuri. Jadi dari perdagangannya, kemudian dari penggunaannya di alat kesehatan, baik di manufaktur untuk energi dan sebagainya,” tutur Vivien yang juga Presiden COP-4 Konvensi Minamata.

Kontribusi Indonesia dalam Konvensi Minamata tambahnya, mempertegas komitmen upaya pengurangan dan penghapusan merkuri. Langkah ini berperan sebagai diplomasi lingkungan hidup di tingkat global. Hal ini juga menunjukkan kepada dunia upaya serius Indonesia bahwa dalam menangani merkuri.

Penulis : Fitri Annisa

 

Top