Walhi Gugat PLTU Jawa 3, PTUN Tolak karena Belum Ada Dampak Nyata

Reading time: 3 menit
Walhi menggugat PLTU Jawa 3. Foto: Walhi
Walhi menggugat PLTU Jawa 3. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Gugatan ini terkait proyek PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A Cirebon yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030.

Dalam pertimbangannya, hakim menyasar pada kepentingan hukum Penggugat (Walhi) dengan alasan belum ada kerugian yang nyata. Sebab, PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A Cirebon belum terbangun dan masih dalam proses pembahasan perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik terbaru. Pengadilan kemudian menyimpulkan bahwa Penggugat tidak lagi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan gugatan ini.

Padahal, fakta persidangan tidak menunjukkan hal demikian. Walhi merupakan organisasi lingkungan hidup yang secara sah mewakili kepentingan perlindungan lingkungan dan masyarakat terdampak.

BACA JUGA: Banjir di Jabodetabek Potret Kesalahan dalam Menata Ruang Kota

Dalam hal ini, pembangunan dan operasi PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A 2 x 660 megawatt (MW) sangat berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Mulai dari penurunan kualitas udara, ancaman terhadap kesehatan publik, penurunan kualitas air laut, serta memperparah perubahan iklim.

Selain itu, PLTU berbahan bakar batu bara merupakan salah satu sumber pencemar lingkungan yang signifikan. Bahkan, menurut analisis dari Mark Chernaik, dan Johnnie Chamberlin, seorang ilmuwan dari Environmental Law Alliance Worldwide (ELAW), PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A dapat melepaskan 7,35 juta ton COβ‚‚ setiap tahun. Jumlah tersebut sekitar 221 juta ton COβ‚‚ selama 30 tahun masa operasinya.

Belum Serius Merespons Krisis Iklim

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwang pun menanggapi putusan dari PTUN Jakarta. Ia melihat bahwa pemerintah baik eksekutif, legislatif, maupun yudukatif belum serius merespons kriris iklim.

Padahal, penggunaan batu bara adalah penyebab utama krisis tersebut.Β  Sementara, narasi β€œphase out” batu bara justru bertolak belakang dengan kenyataan dan berisiko terhadap keselamatan manusia serta keberlanjutan lingkungan.

Selain menunjukkan ketidaksungguhan pemerintah, Walhi juga menilai bahwa Jawa Barat saat ini tidak memerlukan tambahan elektrifikasi dari PLTU baru. Berdasarkan perhitungan PLN, wilayah Jawa Barat bahkan mengalami surplus energi sebesar 6 gigawatt (GW) hingga tahun 2030.

“Artinya, kalau terus dipaksakan tidak related dengan kepentingan yang harusnya dilandasakan pada kebutuhan dan representatif masyarakat,” ujar Iwang di Jakarta, Jumat (9/5).

Tak Perlu Menunggu Terdampak

Sementara itu, Ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Richo Andi Wibowo mengatakan secara tegas dalam persidangan bahwa masyarakat seharusnya tidak harus menunggu terdampak secara nyata, untuk dapat mengajukan gugatan.

Ia membandingkan dengan praktik hukum di Belanda dan Inggris, di mana gugatan sudah dapat masyarakat ajukan sejak tahap awal (preventif). Bahkan, sebelum proyek dimulai dan proses hukumnya banyak yang selesai pada tahap aministrative review.

“Poinnya adalah menjadi hal yang sangat lazim dari perspektif perbandingan hukum untuk belum terdampak tapi sudah ada potensi terdampak itu, sudah bisa dikeluh kesahkan dan diterima secara hukum untuk pendekatan penyelesaiannya,” kata Richo.

Saat persidangan berlangsung, salah satu hakim anggota juga memvalidasi prinsip yang ahli sampaikan mengenai masyarakat boleh mengajukan gugatan. Hal ini dengan dasar potensi dampak dari tindakan administratif pemerintah. Ia pun mengelak jika praktik di PTUN berlangsung seperti hukum acara perdata yang harus ada dampak terlebih dahulu, baru kemudian dapat mengajukan gugatan.

Ajukan Banding

Alasan penolakan bahwa Walhi tidak memiliki kepentingan hukum juga menjadi bentuk penyempitan makna keadilan lingkungan. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap peran organisasi lingkungan hidup sebagai penjaga kepentingan publik.

Menurut M Rafi Saiful Islam dari Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim, ada suatu hal yang memprihatinkan. Salah satunya adalah pengadilan sama sekali mengabaikan fakta persidangan soal potensi dampak yang seharusnya bisa digugat.

Baginya, dampak putusan ini sangat serius. Sebab, bisa membuka preseden buruk bagi upaya-upaya pencegahan perusakan, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim melalui jalur hukum.

BACA JUGA: Walhi Laporkan 47 Korporasi Perusak Lingkungan ke Kejaksaan Agung

“Dengan dalih tidak adanya kepentingan hukum. Jika Walhi yang memiliki kapasitas dan rekam jejak panjang dianggap tidak punya hak gugat, bagaimana nasib masyarakat biasa yang berpotensi terdampak?” kata Rafi.

Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim akan mengajukan banding atas putusan ini. Mereka yakin ada kesalahan fundamental dalam pertimbangan hukum pengadilan tingkat pertama.

“Dengan mengajukan banding, kami ingin menegaskan bahwa organisasi lingkungan memiliki legal standing, dan kepentingan hukum untuk memperjuangkan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan,” tambahnya.

Banding ini tidak hanya menitikberatkan pada kesalahan penafsiran hukum terkait kepentingan hukum organisasi lingkungan. Namun, juga menyoroti pengabaian pengadilan terhadap bukti-bukti ilmiah, yang menunjukkan kontribusi PLTU TJA terhadap pencemaran udara dan krisis iklim.

“Ini bukan sekadar persoalan hukum, melainkan pertarungan untuk menghentikan pembiaran kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi mendatang,” tutupnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top