Belajar Nanosains dari Cahaya Kunang-Kunang

Reading time: 3 menit
nanosains
Kunang-kunang. Foto: wikemedia commons

Selain pemandangan bulan dan kerlap-kerlip bintang di langit, pemandangan malam hari dapat terlihat begitu indah dengan munculnya serangga ini. Kunang-kunang yang dalam bahasa Inggris disebut ‘Fireflies’ atau ‘Lightning Bug’ adalah serangga jenis kumbang yang diklasifikasikan dalam famili Lampyridae dan ordo Coleoptera. Kata Lampyridae berasal dari bahasa Yunani “lampyris” diartikan sebagai “yang bercahaya”.

Kunang-kunang biasanya berwarna kecoklatan atau kehitaman. Serangga ini memiliki tubuh yang lunak dan memanjang. Pada umumnya kunang-kunang jantan berukuran lebih kecil daripada kunang-kunang betina. Kunang-kunang jantan memiliki dua pasang sayap, namun hanya sayap belakang yang digunakan untuk terbang. Kunang-kunang betina ada yang mempunyai sayap dan tidak mempunyai sayap sehingga tidak selalu terbang (Borror dan White (1970), dalam penelitian Anik Wijayanti, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan IPB, 2015).

Berdasarkan beberapa sumber informasi yang didapat mengenai serangga ini, kunang-kunang merupakan sejenis serangga yang aktif pada malam hari. Tidak heran apabila kunang-kunang disebut juga serangga nokturnal.

Keistimewaan dari serangga malam ini adalah dapat mengeluarkan cahaya. Hebatnya lagi, cahaya kunang-kunang mampu bersinar 20 kali lebih terang daripada bola lampu, karena hampir 100 persen dari energi dalam reaksi kimia dipancarkan sebagai cahaya (dikutip pada laman nationalgeographic.co.id.).

Cahaya yang mereka hasilkan banyak dipelajari dalam Nanosains. Berdasarkan buku karya Prof. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, dkk yang berjudul “Nano di Alam”, menjelaskan bahwa cahaya dihasilkan oleh ‘sinar dingin’ yang tidak mengandung ultraviolet maupun sinar inframerah. Ia memiliki panjang gelombang 510-670 nanometer, dengan warna pucat, kuning, atau hijau dengan efisiensi sinar sampai 96%. Cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang berasal dari elektron yang dihasilkan oleh zat/enzim kunang-kunang. Ketika elektron menuju stabil, mereka akan menghasilkan cahaya. Peristiwa tersebut dikenal sebagai “Bioluminescence”.

Bioluminescence adalah kemampuan suatu organisme untuk menghasilkan dan memancarkan cahaya dari tubuhnya. Cahaya yang dihasilkan berasal dari energi direaksikan secara kimia menghasilkan emisi atau pancaran cahaya.

nanosains

Kunang-kunang. Foto: wikemedia commons

Luminescence pada tubuh kunang-kunang dihasilkan oleh suatu zat bernama “zat luciferin”, dimana zat ini bereaksi dengan oksigen. Adapun kegunaan cahaya tersebut adalah sebagai alat komunikasi, biasanya digunakan untuk penanda peringatan bahaya. Cahaya tersebut memperingatkan hewan lain yang akan memangsanya, karena pada tubuh kunang-kunang terdapat zat luciferin yang sangat pahit.

Selain itu, cahaya pada kunang-kunang juga digunakan sebagai penanda untuk mencari pasangannya pada musim kawin. Kunang-kunang jantan lebih sedikit bercahaya dibandingkan dengan kunang-kunang betina yang menggunakan cahaya pijarnya untuk menarik dan menstimulasi pejantan (Anik Wijayanti, 2015).

Menyoroti siklus hidupnya, kunang-kunang bermula dari fase telur, larva, pupa, hingga imago (dewasa). Betinanya akan meletakkan telur sekitar seratus butir atau lebih di tanah dan di dasar pohon. Telur tersebut akan menetas dalam waktu 2-4 minggu yang kemudian menjadi larva. Siklus hidup kunang-kunang umumnya memerlukan waktu tiga bulan hingga satu tahun, tergantung pada jenis kunang-kunang dan lingkungannya. Ketika dewasa kunang-kunang hanya bertahan hidup kurang dari dua minggu dengan memakan polen bunga atau bahkan tidak makan sama sekali (Anik Wijayanti, 2015).

Kunang-kunang dibagi ke dalam beberapa genus, antara lain Cortus, Lamprophorus, Lampyris, Luciola, Photinus, Photuris, Pteroptyx, Pyractomena, Pyrocoelia, dan lain-lain. Terdapat lebih dari 2.000 spesies kunang-kunang di dunia yang hidup tersebar di daerah tropis. Di Asia, khususnya Indonesia dan Malaysia, ada empat kelompok besar dari kunang-kunang yang ditemukan, yaitu Pteroptyx, Luciola, Colophotia dan Lychnuris.

Kunang-kunang umumnya sering ditemukan di tempat yang memiliki kelembapan tinggi, cenderung basah dan hangat seperti hutan basah, rawa-rawa, sepanjang tepian sungai, lahan perkebunan dan lahan tanaman padi. Lahan atau tempat tersebut banyak sekali ditemukan makanan untuk larva kunang-kunang, seperti cairan tumbuhan, siput-siput kecil dan keong.

Berdasarkan karakteristik tersebut, kunang-kunang sering dijadikan bio-indikator lingkungan alami dan bersih. Sebab, kunang-kunang merupakan serangga yang sangat sensitif/rentan terhadap degradasi dan pencemaran lingkungan, melihat dari segi ekosistem dan habitat alaminya yang harus bebas dari jenis pupuk ataupun pestisida an-organik. Apalagi ditambah dengan hilangnya lahan suatu tanaman, maka membuat keberadaan kunang-kunang akan semakin terancam dan keindahan pemandangan malam pun tidak dapat lagi kita rasakan.

nanosains

Penulis: Sarah R. Megumi

Top