Elang Jawa, Sang Garuda Tanah Jawa

Reading time: 3 menit

“Ik ben Garuda, Vishnoe’s voegel, die zijn vleugels uitslaat hoog hoven uw einlanden”. Itulah kalimat yang diucapkan Soekarno, bapak pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, ketika diminta memberikan nama bagi maskapai penerbangan negara yang baru saja lahir. Kalimat yang dalam bahasa Indonesia berarti “Aku adalah Garuda, burung milik Sang Wishnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi di atas kepulauanmu”. Kalimat itu sendiri dikutip Sang Proklamator dari satu baris sajak berbahasa Belanda, Wayang-liederen karya Raden Mas Noto Soeroto.

Oleh Hariyawan Agung Wahyudi*

 

Sosok Garuda berasal dari tokoh imajiner dalam kitab Mahabarata, putra dari Begawan Kasyapa dan Sang Winata. Tokoh ini sering diwujudkan menjadi kendaraan Dewa Wishnu. Namun, dalam kehidupan nyata banyak orang meyakini bahwa Garuda adalah sosok nyata yang berwujud burung Elang. Di Pulau Jawa sendiri, di berbagai tempat orang meyakini bahwa Elang Jawa adalah sang Garuda itu sendiri.

Pemerintah sendiri menetapkan Elang Jawa sebagai simbol resmi negara pada 1950, dan menetapkan sebagai satwa nasional karena kemiripannya dengan Garuda dengan Keppres No.4/1993.

Burung pemangsa endemik Pulau Jawa ini memiliki nama ilmiah Nisaetus bartelsi. Panjang tubuh dari paruh sampai ekor berkisar antara 60 – 70 cm. Tubuhnya didominasi oleh warna kuning kecoklatan pucat dengan coret-coret hitam menyebar di atasnya. Kepala berwarna coklat kemerahan dengan jambul tinggi menonjol. Jambul yang terdiri atas 2 – 4 helai bulu ini menjadi ciri khas utama yang membedakan elang jawa dengan kerabat terdekatnya. Bulu pada kaki menutupi tungkai hingga dekat pangkal jari, yang merupakan ciri pembeda marga Nisaetus dengan marga lainnya. Elang Jawa betina berukuran relatif lebih besar dengan elang jawa jantan.

Sebagai burung endemik Pulau Jawa, ini berarti bahwa kelestariannya bergantung pada habitat alami hutan di pulau terpadat di Indonesia ini. Elang Jawa hidup di habitat hutan hujan tropis dari ketinggian 0 – 2000 m dpl. Namun dalam dasawarsa terakhir, catatan perjumpaan dengan satwa kharismatik ini paling sering terjadi pada ketinggian 500 – 1000 m dpl. Dalam penelitian Syartinilia dan kawan-kawan pada tahun 2010, diperkirakan hanya tersisa 325 pasang saja Elang Jawa yang tersisa.

Zaini Rakhman dalam bukunya yang berjudul “Garuda Mitos dan Faktanya di Indonesia”, menyebutkan bahwa keberadaan Elang Jawa hanya tersisa di puncak-puncak gunung atau dataran tinggi saja. Hal ini dinilainya sangat beresiko tinggi karena di daerah tersebut keberadaan pakan atau mangsanya sangat terbatas.

ha.wahyudi@biodiversitysociety.orgMangsa utama Elang Jawa sendiri adalah tikus lokal yang hidup di Pulau Jawa yaitu jenis Sundamys maxy. Tragisnya, status tikus yang juga dikenal dengan Bartels’ rat anak dari penemu Elang Jawa, dinyatakan terancam punah oleh IUCN. Selain tikus sebagai makanan utama, Elang Jawa juga memburu mamalia kecil seperti tupai, musang sampai dengan anakan monyet ekor panjang. Dari jenis santapannya tersebut membuat Elang Jawa menjadi top predator dalam rantai makanan alami. Maka menjadi penting keberadaaan burung pemangsa tersebut karena mempunyai fungsi ekologis sebagai penjaga agar populasi tikus dan ular tidak meledak di alam.

Jenis mangsa Elang Jawa di atas lebih banyak menempati kawasan hutan dengan pepohonan tinggi yang selalu hijau. Rata-rata ketinggian pohon antara 40-50 meter. Elang Jawa memilih pohon-pohon tinggi diduga karena untuk pemeliharaan dan perlindungan anaknya dari pemangsa lain. Ketergantungan semacam inilah yang membuat Elang Jawa sulit dijumpai di habitat hutan yang terbuka. Fragmentasi hutan juga membuat Elang ini sulit bertahan hidup. Jarang sekali ditemui Elang Jawa berburu di daerah terbuka untuk memangsa ular atau jenis reptil lainnya.

Keadaan ini semakin mengkhawatirkan dengan tingginya perburuan dan perdagangan ilegal yang semakin meningkat. Padahal, sepasang elang jawa hanya bertelur satu butir saja dalam periode 2-3 tahun. Tentu saja, tanpa ada tindakan hukum yang tegas terhadap perburuan dan perdagangan satwa dilindungi ini, kepunahan garuda dari tanah Jawa merupakan hal yang mungkin terjadi dalam waktu dekat.***

Penulis adalah penggiat konservasi spesies dan pendiri komunitas Biodiversity Society di Banyumas, Jawa Tengah.

Top