Negara, Wabah, dan Krisis Pangan

Reading time: 2 menit
Lahan Pertanian
Foto: Watchdoc Documentary

Judul: Negara, Wabah, dan Krisis Pangan

Tahun: 2020

Durasi: 38 menit

Sumber: Youtube Watchdoc Documentary

Setiap tahun Indonesia kehilangan 200 ribu hektare lahan pertanian untuk pembangunan infrastruktur dan industri. Sering kali penggusuran lahan terjadi di lahan pertanian produktif. Lahan yang semakin sempit dan pola pikir masyarakat yang berubah akibat iming-iming untuk menjadi pekerja tambang bergaji besar membuat semangat untuk bertani menjadi hilang. Sawah yang rusak karena imbas dari lumpur pertambangan juga menjadi salah satu penyebab kurangnya lahan pertanian di  Indonesia.

Di dalam dokumenter juga disebutkan data terkait krisis pangan yang terjadi, misalnya, jumlah impor beras pada 2019 yang mencapai 0,44 juta ton. Sebanyak 19 persen dari 44 juta hektare lahan pertanian berada di kavling konsesi batu bara, 23 provinsi dikuasai konsesi batu bara, 23 persen dari 18 juta hektare lahan layak tanam terancam konsesi batu bara, dan 1,7 juta ton per tahun beras hilang akibat tambang batubara.

Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, tetapi mengimpor beras, jagung, dan kedelai untuk kebutuhan pangan. Hal ini menjadi ironis sebab perkebunan sawit luasnya mencapai 16 juta hektar sedangkan luas lahan baku sawah hanya sekitar 7,4 hektar.

Di masa pandemi saat ini, kebutuhan pangan seharusnya dapat diutamakan. Namun, keadaan justru berbalik, kriminalisasi terhadap petani masih terjadi di masa pandemi. Tercatat terdapat lima kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan, dua kasus di Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Jambi. Koalisi Masyarakat Sipil seperti Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng juga mengadakan aksi damai untuk menyerukan penghentian aktivitas tambang. Mereka berfokus menyiapkan ketahanan pangan untuk menghadapi wabah. Namun, aksi damai ini justru mendapat balasan intimidasi.

Penggusuran

Foto: Watchdoc Documentary

Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2015-2018 terjadi 1.771 konflik agraria, 41 persen konflik antara perkebunan dengan pertambangan, 37 persen konflik properti dan infrastruktur. Dampak konflik agraria antara 2014-2018 mengakibatkan sebanyak 41 orang tewas, 546 orang dianiaya, dan 940 orang dikriminalisasi.

Memanfaatkan keragaman pangan merupakan langkah penting untuk mengatasi krisis pangan. Namun faktanya kebijakan pangan Indonesia hanya bergantung pada beras. Tahun 2016 pemerintah mencetak 1.000 hektare sawah di Kepulauan Mentawai, tetapi sebagian besar mengalami gagal panen. Selain itu melalui MIFEE, pemerintah berambisi mencetak 1,2 juta hektare lahan sawah di Merauke, Papua dengan target selama tiga tahun. MIFEE ingin menjadikan Papua sebagai lumbung pangan dan energi berbasis industri, namun pada akhirnya yang dikembangkan adalah sawah-sawah milik perusahaan seperti Medco Group.

Guna mengatasi kelangkaan pangan, presiden memerintahkan BUMN untuk bergotong royong mencetak sawah baru. Dengan kasus saat ini, menanam sendiri untuk memenuhi kebutuhan pangan di rumah dengan sistem hidroponik bisa menjadi solusi bagi masyarakat. Sistem ini juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan peralatan yang ada di rumah. Selain itu, mengubah pola pikir masyarakat bahwa petani bukan pekerjaan yang rendah, tetapi pekerjaan mulia dan menjadi bagian penting untuk keberlangsungan pertanian Indonesia.

Penulis: Mega Anisa

Top