Judul: Negeri di Bawah Kabut
Genre: Dokumenter
Durasi: 1 Jam 44 Menit
Sumber: Kanal YoutubeΒ Negeri Films
Film Negeri di Bawah Kabut karya Shahaluddin Siregar yang diluncurkan padaΒ 2011 telah memenangkan penghargaanΒ Special Jury PrizeΒ dari Dubai International Film Festival danΒ berpartisipasi dalam 15 festival film bergengsi. Dokumenter ini didukung oleh Goethe Institut Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, dan Ford Foundation.
Dokumenter ini menceritakan kehidupan petani di sebuah desa bernama Genikan yang terletak di lereng gunung di Kecamatan Ngablak, Magelang, Jawa Tengah. Mayoritas petani di sana menanam kentang, wortel, kol, dan brokoli. Para petani di desa tersebut mengalami masalah gagal panen dan banyak hasil panen mereka yang membusuk. Mereka belum memahami perubahan iklim yang terjadi, misalnya, hujan yang berintensitas lebih banyak dari tahun sebelumnya. Krisis iklim ini yang menyebabkan hasil panen mereka banyak yang rusak.
Sebagai petani yang mengandalkan perhitungan kalender tradisional jawa untuk membaca musim, mereka dibuat kebingungan dengan perubahan iklim yang terjadi. Dengan keadaan ini mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pestisida. Hasil panen yang dihasilkan pun sedikit dan biaya yang berlebihΒ cukup membuat para petani mengalami kesulitan.
Muryati dan Sudardi, petani kentang di desa Genikan, mencoba memahami situsi yang terjadi. Hasil panen yang minim bahkan terancam gagal, sementara harga jualΒ terlalu murah menjadi ancaman bagi mereka dan petani lainnya.
Musim yang mulai tidak sesuai dengan perhitungan membuat mereka harus mencari cara agar hasil panenΒ tetap stabil. Intensitas hujan yangΒ turun setiap hari danΒ panas yangΒ terkadang terlalu terikΒ memerlukanΒ lebih banyak air untuk menyiram tanaman. Sedangkan air yang tersedia jumlahnya terbatas. Dengan ini, keduanya menyiasati menyiram tanaman mereka di malamΒ hari karena air yang tersediaΒ lebih banyak daripada siang hari. Terbatasnya cahaya pada malamΒ hari di desa tersebut, membuat Sudardi merakit senterΒ sendiri dengan alat-alat dari elektronik bekas.
Di sisi lain, kehidupan pendidikan di desa tersebut juga masih terbatas. Seorang anak bernama ArifinΒ mengalami kesulitan saat ingin melanjutkanΒ sekolah ke jenjangΒ Sekolah Menengah Pertama. Ia harus mengurungkan niatnya dan melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren.Β Meskipun jenjang menengah pertama sudah bebas biaya, tetapi untuk membeli kebutuhan seragam dan buku tetap tidak bisa terpenuhi. Bahkan, terdapat anak-anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikanΒ setelah Sekolah Dasar ke jenjang selanjutnya.
Negeri di bawah kabut menggambarkan dengan jelas relasi krisis iklim, kemiskinan, dan pendidikan yang terjadi di desa. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain dan tak ayal juga dapat melanda desa-desa lain di Indonesia.
Penulis: Mega Anisa












































