Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Universitas Indonesia (UI) berhasil mengembangkan desain sistem pendingin pasif inovatif berbasis termosifon dua fase. Teknologi ini mereka rancang untuk meningkatkan keselamatan reaktor nuklir dan efisiensi pembuangan panas sisa pada reaktor Light Water Reactor (LWR) berdaya 300 MW termal.
Energi nuklir dinilai memainkan peran strategis dalam penyediaan listrik bersih dan andal secara global. Salah satu jenis reaktor yang banyak digunakan adalah LWR karena teknologi dan fitur keselamatannya yang telah teruji. Namun, peningkatan keselamatan tetap menjadi fokus utama. Terutama untuk menghadapi situasi tak terduga seperti pemadaman listrik total (station blackout).
BACA JUGA: Indonesia Belum Mampu Kelola Limbah Radioaktif PLTN
Peneliti Utama BRIN, Anhar Riza Antariksawan mengatakan bahwa tujuan utama dari riset ini adalah mengkaji kinerja termosifon dua fase dalam lingkungan uap PRHR. Selain itu, riset juga untuk menilai efektivitasnya dalam mengekstraksi panas langsung dari pembangkit uap.
“Sehingga, hal tersebut dapat mengurangi ukuran peralatan penukar panas yang dibutuhkan,β ujar Anhar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/6).
Menurut Anhar, sistem PRHR konvensional umumnya hanya mampu bekerja efektif selama 72 jam setelah reaktor dimatikan tanpa intervensi operator. Dalam kondisi darurat berkepanjangan seperti pada insiden PLTN Fukushima Dai-ichi, sistem ini menjadi tidak memadai. Oleh karena itu, tim peneliti BRIN dan UI menawarkan solusi berbasis termosifon dua fase yang bekerja tanpa listrik eksternal dan memiliki efisiensi perpindahan panas tinggi.
Keunggulan utama dari sistem ini terletak pada penempatan evaporator termosifon langsung di jalur uap PRHR. Penempatan ini memungkinkan perpindahan panas laten secara efisien. βIni adalah langkah penting dalam meningkatkan keselamatan dan keandalan sistem pendingin pasif untuk reaktor generasi lanjut,β tambahnya.
Pentingnya Riset dan Simulasi Nuklir
Selain itu, inovasi ini juga untuk mengurangi ukuran dan kompleksitas sistem penukar panas tambahan. Sistem bekerja dalam dua mode, di antaranya menggunakan air untuk tiga hari pertama, dan udara setelahnya. Ini memungkinkan operasi otonom dalam masa pendinginan berkepanjangan. Desain adaptif ini sangat relevan untuk reaktor masa depan yang mengedepankan keselamatan pasif.
Anhar mengungkapkan, penelitian ini melalui pengujian eksperimental menggunakan Passive System Condensation Experimental Loop (PASCONEL), dan validasi numerik dengan perangkat lunak RELAP5. Hasilnya menunjukkan bahwa satu unit tabung termosifon mampu membuang panas hingga 5 kW. Untuk menjaga keselamatan reaktor secara pasif pasca 72 jam, butuh sekitar 60 unit termosifon.
βLangkah selanjutnya adalah mengkarakterisasi perpindahan panas di sisi kondensor dengan menggunakan udara sebagai media pendingin, guna meningkatkan efisiensi termal,β ujar Anhar.
Penelitian ini memperlihatkan pentingnya integrasi antara riset eksperimental dan simulasi numerik dalam merancang sistem keselamatan reaktor yang lebih baik. Proyek ini melibatkan kolaborasi antara Anhar Riza Antariksawan, Surip Widodo (BRIN dan UI), Nandy Putra (UI), dan Mulya Juarsa (BRIN).
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia