Sampah Koran Berdayakan Ibu-Ibu Rumah Tangga di Palmerah Jakarta

Reading time: 2 menit
kampung koran
Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Siapa sangka jika sampah koran bisa memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di Kecamatan Palmerah, Jakarta Pusat. Kampung Koran lahir sebagai salah satu terapan program corporate social responsibility (CSR) Kompas Gramedia yang bermitra dengan komunitas Salam Rancage dan warga di sekitar kawasan Palmerah. Ketiganya bergerak bersama menuju tiga keselarasan, yakni keselarasan lingkungan, sosial, dan finansial.

Corporate communication manager Kompas Gramedia Viola Oyong yang ditemui Greeners pada penyelenggaraan Filantropi Indonesia Festival (FIFest) di Jakarta Convention Center, Jakarta, beberapa waktu lalu mengatakan bahwa di Kampung Koran ini, gagasan daur ulang sedang tumbuh menjadi etos dan kebiasaan baru, bersinergi, berorganisasi, dalam tekad bersama merintis perubahan. Di sana dapat ditemui para ibu rumah tangga yang terampil menganyam kerajinan berbahan kertas Koran.

“Sebuah kampung di mana kertas koran adalah benda ajaib yang membantu mereka menumbuhkan harapan akan kehidupan yang lebih layak, berdaya, dan bermartabat serta menghasilkan sebuah karya membanggakan,” ujar Viola.

Oleh ibu-ibu di kampung ini kertas koran diubah menjadi aneka produk kerajinan, seperti wadah serbaguna, sampul buku, vas, topi, kotak tisu, tas jinjing, tikar, wadah cucian, kursi, tempat penyimpanan, dan tempat payung.

kampung koran

Nurmala, salah satu penganyam di Kampung Koran, menunjukkan hasil karyanya. Program Kampung Koran ini memberinya wawasan cara mendaur ulang sampah yang tidak dipakai menjadi sesuatu yang bernilai. Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Nurmala, salah satu penganyam di Kampung Koran, mengatakan bahwa program ini memberinya wawasan cara mendaur ulang sampah yang tidak dipakai menjadi sesuatu yang bernilai. Selain itu ia juga mengaku mendapat banyak teman dan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Dari hasil anyaman itu kita dapat 20% dari penjualan dan sistemnya itu masuk ke buku tabungan, uangnya kapanpun dibutuhkan bisa diambil. Setiap lintingan dihargai berbeda-beda, seperti lintingan gantungan kunci dihargai Rp1 per lintingan dan Rp25 untuk anyaman. Jadi setiap bentuk dan ukuran berbeda-beda harganya,” ujar Nurmala.

Nurmala juga mengakui bahwa hasil dari anyamannya di Kampung Koran ini bisa membantu biaya kebutuhan rumah tangganya. Pada tahun pertama Nurmala mendapatkan Rp3.000.000 dari hasil tangannya yang melinting dan menganyam koran bekas.

“Dalam sehari saya bisa menghasilkan 1.000 lintingan per hari dan 100 anyaman lipatan,” tutur Nurmala.

Kampung Koran ini baru berjalan tiga tahun dan saat ini total jumlah anggotanya sudah mencapai 90 orang. Menurut Viola, Kampung Koran berjalan dalam tiga keselarasan, di mana ibu-ibu rumah tangga menjadi motor penggeraknya.

“Pertama, selaras dalam hal lingkungan. Ini mengartikan para penganyam di Kampung Koran perlahan berlatih berkontribusi positif terhadap lingkungan dengan mengelola Bank Sampah Komunitas. Bergulirnya kontribusi ini kemudian berkembang menjadi gerakan perempuan cinta lingkungan yang memperlakukan lingkungan secara lebih hemat, arif, dan bijaksana,” kata Viola.

Kedua, selaras dalam sosial. Ini diartikan bahwa aktivitas menganyam bersama di Kampung Koran menjadi momen berkumpulnya kaum perempuan yang perlahan menjadi lebih terorganisir dalam kelompok yang mereka bangun sendiri. Tumbuhnya kelompok ini juga turut membangun modal sosial di antara mereka.

Ketiga, selaras dalam finansial. Dengan menganyam kertas koran menjadi aneka produk kerajinan yang layak jual, kaum perempuan memperoleh pendapatan tambahan. Tambahan pendapatan ini kemudian dikelola dalam bentuk tabungan sebagai wujud menumbuhkan budaya mengefektifkan pengeluaran keluarga.

“Dengan bermodalkan tiga keselarasan tersebut, kampung ini akan mengharmonisasikan seluruh elemennya. Kampung Koran ini juga menjadi sebuah kampung inspiratif yang mengemban cita-cita luhur di dalamnya, yakni menganyam kertas koran untuk menganyam harapan, martabat, dan hidup yang selaras,” kata Viola.

Penulis: Dewi Purningsih

Top