Toko Buku Bebas Gawai, Merayakan Kenyamanan Membaca Buku Fisik

Reading time: 2 menit
Arsitek dari Spanyol, Jose Selgas dan Lucia Cano dari firma arsitektur SelgasCano mendesain sebuah toko buku bebas gawai di London Timur. Foto: SelgasCano/treehugger.com

Saat ini adalah era digital di mana buku sudah tersedia dalam bentuk buku elektronik atau e-book mengalahkan jumlah buku dalam bentuk fisiknya. Meski pembaca buku e-book semakin banyak, namun banyak pula orang yang lebih memilih kenyamanan membaca buku dalam bentuk aslinya.

Buku memang dihasilkan dari kertas yang berarti harus memotong pohon. Tetapi para pembaca e-book juga mempunyai jejak karbon yang cukup besar, bahkan lebih besar ratusan kali dibandingkan dengan sebuah perpustakan milik pribadi pada umumnya.

Jadi bisa dimengerti ketika beberapa perusahaan dan desainer mulai mendukung keberadaan buku cetak. Arsitek dari Spanyol, Jose Selgas dan Lucia Cano dari firma arsitektur SelgasCano, yang menciptakan Serpentine Pavilion tahun lalu, mendesain interior yang indah untuk sebuah toko buku baru di London Timur. Sebuah perwujudan dari masa keemasan buku cetak di mana para pembaca bisa datang dan tenggelam dalam dunia buku tanpa adanya gangguan dari peralatan digital, karena di tempat ini gawai dilarang penggunaannya.

Foto: SelgasCano/treehugger.com

Foto: SelgasCano/treehugger.com

Inspirasi untuk desain toko buku ini berasal dari sebuah karya fiksi berjudul Library of Babel karangan seorang pengarang berkebangsaan Argentina, Jorge Luis Borges. Sebuah perpustakaan umum yang besar yang terdiri dari ruang-ruang heksagonal.

Arsiteknya kemudian menerjemahkan ide ini menjadi ruang buku tak berujung dengan menggunakan rak-rak yang dibuat sendiri dan tidak beraturan serta menambahkan cermin di tempat yang strategis sehingga ruangannya terlihat jauh lebih besar. Walaupun inventorinya dibuat dan diorganisasikan menggunakan komputer, namun ruang yang dibuat di toko buku ini sama sekali tidak menggunakan tekonologi untuk memberikan penghargaan terhadap karya yang dicetak di buku-bukunya.

Foto: SelgasCano/treehugger.com

Foto: SelgasCano/treehugger.com

Pendiri dan pemilik perusahaan tekonologi Second Home, Rohan Silva adalah orang yang membuat proyek ini bersama Sam Aldenton. Seperti dikutip dari Treehugger.com dan dilansir Dezeen, Silva mengatakan, “kami percaya pada nilai dari buku dan literatur. Kami melihat banyak sekali dalam industri ini yang mempunyai gerakan kembali ke benda-benda yang sifatnya material, termasuk diantaranya penghargaan yang baru terhadap karya pertukangan. Hal-hal seperti ini tidak tergantikan di dunia digital dan sekarang mereka mendapatkan kehidupan yang baru.

Salah satu hal yang menyenangkan saat membeli buku dalam bentuk fisik adalah sebuah pengalaman yang tidak bisa disandingkan dengan rekomendasi algoritma. Kalau dikurasi dengan baik, sebuah toko buku adalah tempat terbaik untuk menemukan ide-ide baru.”

Penulis: NW/G15

Top