Kecintaannya kepada alam membuat Muhammad Ikhwan, pria asal Maros, Sulawesi Selatan berjuang tak henti menyelamatkan tanah kelahirannya dari serbuan industri ekstraktif. Ia menyebut, jika tanah dan lingkungannya menjadi lokasi tambang marmer, sama saja bunuh diri.
Berkat kegigihannya, bapak empat orang anak yang akrab disapa Iwan Dento ini berhasil meraih penghargaan Kalpataru kategori perintis lingkungan tahun 2023 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tanpa upayanya mengadvokasi sejak tahun 2007 mungkin Rammang-Rammang yang kini menjadi salah satu kawasan wisata alam di Maros tak bisa dirasakan keindahan dan nilai sejarahnya.
Rammang-Rammang adalah sebuah kawasan bentang alam berupa gugusan pegunungan karst yang terletak di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kawasan karst ini terintegrasi dengan kawasan karst Maros-Pangkep.
Dalam kesaksiannya, penggiat karst yang hobi mendaki ini menuturkan, tahun 2007-2009 ada izin tambang marmer yang Pemerintah Kabupaten Maros keluarkan.
“Saya mengadvokasi dan menolak kegiatan ekstraktif karena bisa merusak ruang hidup, sumber air, mencemari sungai dan menghilangkan situs prasejarah yang menjadi identitas kami,” katanya kepada Greeners melalui sambungan telepon, Selasa (28/6) malam.
Kalpataru yang ia raih, akan menguatkan posisi komunitas lokal yang kini merasakan manfaat positif dari wisata berkelanjutan di Rammang-Rammang.
Rammang-Rammang Kantongi Nilai Prasejarah
Iwan lega, tahun 2013 peluhnya terbayar, pemerintah kabupaten mencabut tiga izin tambang marmer. Berbekal tekad tahun 2015 ia mendorong gagasan tanding wilayah itu dengan munculnya ekowisata berbasis komunitas di Rammang-Rammang.
“Pasar target ekowisata ini domestik dan mancanegara. Target kami hampir terpenuhi 80 %. Itu yang membuat Rammang-Rammang semakin dikenal,” ucapnya.
Penguatan ekowisata berkelanjutan ini terus ia dan komunitas lokal dorong agar kawasan ini tetap menjadi salah satu destinasi wisata favorit. Di kawasan ini pengunjung bisa menaiki perahu di sungai yang di kelilingi pegunungan karst.
Di kawasan ini pengunjung juga melihat beberapa titik ikonik seperti labirin stone yang Iwan sebut menjadi laboratorium karst. Lalu Kampung Budaya Massaloeng, kawasan hutan batu dan situs prasejarah.
Situs tersebut terdiri dari gambar telapak tangan, binatang dan gambar perahu serta sisa-sisa makanan dari manusia prasejarah nomaden di mulut-mulut gua.
Baginya kawasan karst adalah ruang hidup esensial yang tidak sekadar simbolik. Berbicara karst ada ruang hidup, flora fauna dan kehidupan masyarakat di dalamnya. Tak hanya itu ada peninggalan prasejarah ribuan tahun lalu.
“Itu identitas kami. Artinya jika kami kehilangan ruang hidup, kami juga kehilangan identitas. Hilangnya kawasan ini sama dengan bunuh diri,” imbuhnya.
Kini hampir 500 kepala keluarga (KK) menghuni Rammang-Rammang. Mereka mendapat izin pengelolaan hutan desa seluas 387 hektare termasuk di dalamnya kawasan ekowisata.
Tawarkan Kamboti sebagai Wadah Kurban
Tak hanya berjuang untuk ekowisata, Iwan juga sejak tahun 2016 bergerak mengangkat pamor kamboti. Sebuah wadah ramah lingkungan dari daun nipah. Wadah khas Rammang-Rammang ini sejak zaman dulu masyarakat lokal gunakan untuk berbagai acara dan kegiatan.
Seiring berjalannya waktu, gempuran kantong kemasan yang lebih praktis bermunculan. Namun hanya menimbulkan sampah baru karena sulit terurai. Berbeda dengan kamboti, terurai alami dan ramah lingkungan.
“Pembuatannya mudah, 5 menit jadi. Kami bisa membuatnya dengan berbagai bentuk, multifungsi dan tentunya harganya bersaing,” ucapnya.
Kehadiran kamboti tambahnya membuat slogan Maros Go Green tak sekadar jargon. Kamboti menjadi bukti nyata konsep go green itu.
Menjelang Iduladha pun kamboti bisa jadi pilihan tepat untuk berkurban ramah lingkungan. Kamboti yang ia dan masyarakat jual mulai dari Rp 4.000 per wadah mampu menampung daging hingga 2 kilogram.
Daun nipah juga melimpah di Maros. Malahan daun nipah harus sering dipangkas agar pertumbuhannya pesat. Jadi lanjutnya, bahan baku pembuat kamboti yang melimpah membuat wadah ini harus bisa diproduksi tanpa henti.
Penulis/Editor : Ari Rikin