Mencintai Alam dan Satwa Liar Indonesia Lewat Lensa Kamera

Reading time: 3 menit
Riza Marlon. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Berbicara tentang fotografi alam liar di Indonesia, tentu tidak akan lepas dari nama seorang Riza Marlon. Totalitas dari sosok pria bertubuh mungil dan ramah senyum ini sudah tidak perlu diragukan lagi dalam mengabadikan alam dan satwa liar di Indonesia.

Pada satu kesempatan, Bang Caca, panggilan akrab dari pria yang telah malang melintang di belantara hutan Indonesia selama lebih dari 25 tahun ini, bersedia menceritakan sedikit pengalamannya dalam memotret keanekaragaman hayati serta hewan-hewan liar yang minim peminat namun besar manfaatnya itu.

Sejak awal, Bang Caca mengaku memang sudah cinta dengan binatang. Meskipun sebelum terjun ke dunia fotografi dirinya sempat menggeluti olahraga ekstrim seperti panjat tebing, namun pria lulusan Fakultas Biologi, Universitas Nasional (UNAS) Jakarta ini mengaku sudah terlalu cinta dengan satwa-satwa Indonesia. Karena kecintaannya itu, ia pun mencoba menyatukan kesukaannya dalam memotret dengan kecintaannya pada binatang. Terlebih, ia juga memiliki pengetahuan dan latar belakang yang mendukung kegemaran yang akhirnya menjadi profesinya itu.

“Saya itu dari kecil suka banget sama binatang, saya suka jalan-jalan, dan saya punya pengetahuan. Itu merupakan tiga kombinasi sempurna bagi saya untuk menjalani profesi ini,” tuturnya dengan penuh antusias.

Bagi Bang Caca, negara Indonesia mempunyai kekayaan hayati dan fauna yang berlimpah, sayang semuanya itu diabadikan oleh orang asing. Berangkat dari pemikiran itulah, setelah menamatkan studinya di UNAS, beliau langsung total mengabdikan dirinya pada fotografi alam dan satwa liar Indonesia.

Awalnya, ia menuturkan, karena belum memiliki modal yang cukup, semua hasil jepretannya diabadikan dalam bentuk kartu pos dan kalender. Berbagai cara pun ia coba demi mendapatkan dukungan dana seperti mengajukan proposal pada kementerian, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai perusahaan.

Hingga akhirnya, ia berhasil meluncurkan buku pertamanya yang diberi judul “Living Treasures of Indonesia” yang dilakukan bersamaan dengan pameran foto tunggalnya yang pertama Nature on Canvas : Biodiversity of Indonesia di Grand Indonesia Mall, Jakarta pada November 2010 silam.

Buku karangan Riza Marlon, "107+ Ular Indonesia". Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Buku karangan Riza Marlon, “107+ Ular Indonesia”. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Foto-foto yang ia rangkum dalam buku pertamanya itu merupakan hasil jepretannya selama 20 tahun menapaki dunia fotografi alam dan satwa liar di Indonesia. Tak disangka, sambutan baik dari masyarakat didapatnya sehingga pada Juni 2011, ia pun kembali mengadakan pameran foto tunggal. Pameran foto tersebut ia beri judul Hidden Treasures of Indonesia.

Tahun 2014, buku “Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan : 107+ Ular Indonesia” muncul sebagai buku kedua Bang Caca. Buku ini secara khusus membahas soal ular di Indonesia yang masih sangat jarang didokumentasikan.

Dalam catatannya, buku tentang ular yang pernah diterbitkan oleh penulis Indonesia masih sangat sedikit. Ambil contoh seperti karya dari Prof. Jatna Supriatna yang berjudul Ular Berbisa Indonesia yang diterbitkan tahun 1981, dan disusul oleh Budi Suhono yang menerbitkan buku dengan judul Ular Berbisa di Jawa pada tahun 1986.

Menurutnya, kedua buku tadi masih terlalu ilmiah dan menjadi agak sulit dipahami oleh orang awam karena sifat ilmiahnya yang dominan dan tidak memiliki visualisasi yang menarik untuk menjelaskan berbagai jenis ular tersebut. Nah, dalam bukunya ini Bang Caca mencoba membuat sepopuler dan sederhana untuk mudah dimengerti oleh khalayak umum.

Lebih jauh, ia juga menceritakan kalau memang tidak mudah untuk bisa konsisten berada di jalur fotografi alam liar. Apalagi di negeri ini, katanya, Indonesia sedang berpacu dengan waktu menuju kehancuran ekosistem yang sulit diperbaiki.

Ia berharap buku-buku yang ia terbitkan mampu membuat masyarakat Indonesia untuk lebih mengenal dan mencintai alam serta tumbuh rasa kepedulian terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup satwa liar termasuk dengan kelestarian habitatnya.

“Dan yang tidak kalah penting agar peminat fotografi bisa lebih serius melakukan pemotretan dan pendokumentasian kekayaan alam dan satwa liar di Indonesia,” tukasnya menutup perbincangan.

Penulis: Danny Kosasih

Top