Prigi Arisandi, Akrab dengan Sungai Sejak Kecil

Reading time: 3 menit
Prigi Arisandi sedang mengambil sampel air sungai yang tercemar untuk ia teliti. Foto : Prigi Arisandi/Ecoton

Jakarta (Greeners) – Kepedulian aktivis lingkungan Prigi Arisandi terhadap sungai dan biota tak perlu diragukan lagi. Salah satu bukti, ia kini menjadi sosok penting di Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton). Akan tetapi di balik itu semua ternyata Prigi menyimpan keakraban tersendiri dengan sungai di dekat rumahnya, di perairan Kali Surabaya.

Lelaki yang pernah mendapatkan penghargaan Goldman Environmental Prize dari Yayasan San Fransisco ini menceritakan riwayat hidupnya dari kecil sampai akhirnya menjadi pejuang lingkungan.

Sungai bukanlah hal baru bagi lelaki asli Gresik, Jawa Timur ini. Sewaktu kecil, ia telah akrab dan menjadi bagian dari sungai. Prigi kecil kerap kali mandi di sungai dekat rumahnya. Bahkan ia mengaku sering dilempar ke sungai.

Lambat laun semuanya berubah, saat ia menyadari ada pencemaran yang berasal dari limbah pabrik yang dibuang ke sungai. Saat pulang ke kampung halaman dan ingin mandi di sungai, Prigi menyadari ada yang berbeda karena tercium bau lumpur pada air sungai. Ia bertekad memperdalam ilmu Biologi agar bisa mengetahui dampak pencemaran sungai.

Fenomena ikan mati massal di perairan Kali Surabaya imbas pembuangan limbah pabrik kertas pada tahun 1999 menjadi awal mula aksi Prigi untuk melakukan pengusutan lebih lanjut. Limbah tersebut mencemari aliran sungai Kali Surabaya, tepatnya di musim kemarau saat terjadi penurunan debit sungai. Padahal di sungai itu ada aliran air minum PDAM.

Ia mengumpulkan barang bukti penelitian dampak pencemaran tersebut sebelum akhirnya melayangkan gugatan pada tahun 2007. Berkaca dari berbagai pengalaman dari gugatan beragam LSM lain pula, ia membutuhkan waktu selama delapan hingga sembilan tahun untuk mengumpulkan bukti-bukti dampak pencemaran tersebut.

“Belajar dari itu kita akhirnya tahu bahwa barang bukti penelitian itu penting agar menang gugatan,” katanya saat Greeners temui baru-baru ini di Jakarta.

Sang Ayah Penular Keberanian Prigi Arisandi Menguak Pencemaran Sungai

Buah tak jauh jatuh dari pohonnya. Jiwa keberanian dan kepedulian Prigi terhadap lingkungan, khususnya sungai berasal dari bapaknya. “Jangan takut kalau ngomong kebenaran. Keberanian bapak saya saat rapat di desa ia memprotes tentang pencemaran sungai yang tak masyarakat pedulikan. Besoknya bapak saya didatangi polisi dan tentara. Bapak saya tetap tegas ngomong apapun risikonya, termasuk sungai itu penting. Itu juga menjadi inspirasi saya,” tuturnya.

Berawal dari itu pula, jiwa empati Prigi tergugah untuk mendirikan komunitas Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton). Ecoton merupakan kelompok studi pemerhati lingkungan yang telah berdiri sejak tahun 1996. Genap 4 tahun setelah Ecoton berdiri, tahun 2000 Ecoton telah resmi berbadan hukum dan menjadi yayasan.

Pada awal perkembangannya, Prigi memanfaatkan media terhadap gerakan dan hasil penelitian Ecoton, yakni melalui koran baik lokal maupun nasional. Ia menyebut, aksi tersebut sebagai propaganda untuk menyuarakan kebenaran.

Bermula dari keaktifannya ini, ia kerap mendapat undangan sebagai pembicara di beragam acara dan memberikan kemudahan untuk berjejaring secara luas. “Sejak kuliah tepatnya tahun 1996 hingga 1998 aktif jadi pembicara berkat kita menjadikan media sebagai propaganda,” imbuhnya.

Prigi Arisandi (kiri) bersama rekannya di sela-sela Ekspedisi Sungai Nusantara. Foto: Prigi Arisandi/Ecoton

Rusaknya Sungai Karena Pencemaran

Dalam hal menyuarakan gerakan untuk menyadarkan masyarakat dan pemerintah akan bahaya pencemaran sungai, Prigi Arisandi melakukan strategi khusus. Saat berinteraksi dengan media, Ecoton menyajikan berbagai informasi tertulis dan memperkuatnya dengan foto. Daya tarik visual merupakan hal terpenting untuk menggugah kesadaran masyarakat, termasuk dengan melakukan pendekatan melalui film.

Sebelumnya, rusaknya kondisi sungai di Pulau Jawa telah ia deteksi kadar pencemarannya. Tiga sungai tersebut yaitu Sungai Brantas di Jawa Timur, Sungai Citarum di Jawa Barat dan Sungai Bengawan Solo.

Tak hanya itu, perjalanan ekspedisi 3 sungai ini telah ia rekam dan bagikan melalui film dokumenter bekerja sama dengan Watchdoc Image. Film ini memiliki 20 episode dengan tema berbeda. Film dokumenter tersebut, sambung Prigi mengena dan mendapat banyak respon. “Ini cara kami untuk menggunakan budaya populer, kalau dulu kami menggunakan koran,” ucapnya.

Hampir 80 Persen Sungai di Indonesia Kondisinya Memprihatinkan

Ecoton mencatat, sekitar 70 hingga 80 % sungai di Indonesia dalam kondisi rusak, khususnya di Pulau Jawa. Hal ini tidak lepas dari populasi yang meningkat, masuknya investasi dan industri, serta tidak adanya upaya serius dari pemerintah untuk menjaga dan melestarikan sungai.

Saat ini, tim Ecoton juga tengah melakukan Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) yang akan menyasar 68 sungai di sejumlah kota di Indonesia. Melalui deteksi kadar pencemaran berupa brand audit sampah plastik, sensus serangga air, pengamatan mikroplastik dan uji kualitas air, ekspedisi ini juga akan ia dokumentasikan.

“Ekspedisi Sungai Nusantara ini ada empat misi yang kita bawa. Pertama yaitu mendeteksi kesehatan sungai, selanjutnya melakukan dokumentasi, buat film. Ketiga syiar dan keempat yaitu mengajak dan menyadarkan masyarakat, menyentuh orang dari hati,” ungkapnya.

Prigi Arisandi menyebut, ada 4 golongan muslim menurut Imam Al Ghazali. Pertama, sosok yang berilmu dan dia tahu kalau dirinya berilmu. Kedua, seorang yang berilmu namun dia tidak tahu bila dirinya berilmu.

Selanjutnya, orang yang tidak tahu dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Terakhir, orang yang tidak tahu dan tidak mengetahui bahwa dirinya tidak tahu. “Sekarang lebih banyak orang yang tidak tahu dan tidak mengetahui bahwa mereka tak tahu. Kita mau membalikkan agar banyak orang yang mau tahu, ingin tahu dan memberitahu,” pungkasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top