Belajar Manajemen Sumber Mata Air di Era Jawa Kuno

Reading time: 2 menit
Membagi-bagi tumpeng dalam acara Festival Mata Air 2014. Foto: greeners.co

Batu (Greeners) – Sumber mata air bagi masyarakat Jawa Kuno menjadi lokasi yang selalu disakralkan dan dihormati keberadaannya. Tak heran, bertebaran lokasi pemujaan maupun petirtaan atau petirtan yang lokasinya berada di dekat sumber mata air. Di Kota Batu misalnya, tersebar puluhan petirtan yang menunjukkan bahwa di kota ini terdapat puluhan bahkan ratusan sumber mata air.

Sejarawan Malang, Dwi Cahyono, sempat melakukan penelusuran desa-desa kuno di Kota Batu. Dari nama-nama desa itu, banyak yang erat kaitannya dengan sumber mata air atau berhubungan dengan air. Di mana lokasi desa itu biasanya ada petirtannya atau nama desa tersebut berhubungan dengan air.

Ia menyontohkan, Candi Songgoriti yang berada di tengah areal wisata Songgoriti merupakan salah satu candi tertua di Indonesia. Di kawasan candi itu petirtannya sudah hilang dan air yang mengalir ke candi dialirkan ke hotel di sekitarnya. “Namun, bentuk aliran air yang ada di candi itu masih bisa dilihat dan airnya berasal dari kawah Gunung Welirang purba,” katanya, Jumat (7/11) lalu.

Selain itu, kata Dwi Cahyono, dalam sarasehan di acara Festival Mata Air 2014 di Desa Bulukerto, Kota Batu, Jawa Timur, juga disampaikan beberapa nama desa, seperti Desa Jading yang petirtannya juga hampir hilang. Lalu ada Desa Sumber Brantas, yang menunjukkan daerah sumber Sungai Brantas yang menghidupi belasan daerah di Jawa Timur.

Prasasti di Torongrejo yang berada di titik pertemuan Kali Brantas Lanang dan Kali Brantas Wadon berupa arca Ganesha. Lalu prasasti di Dusun Toyomerto, Desa Pesanggrahan yang berada di bawah lereng Gunung Panderman. Kemudian ada Dusun Banyuning. “Lokasi-lokasi itu menunjukkan ke kita bahwa dahulu ada sumber mata airnya,” ungkapnya.

Menurutnya, Kota batu yang berada di kaki Gunung Anjasmoro, Kawi, Welirang, dan Arjuna, menyimpan banyak sekali mata air sejak jaman Jawa Kuno. Semestinya masyarakat lokal yang ada di sekitar prasasti maupun petirtan mempunyai pengetahuan secara turun-temurun bagaimana pengelolaan sumber mata air waktu itu. Sayangnya, pemerintah setempat juga kurang menggali bagaimana seharusnya menyelamatkan dan melindungi sumber mata air yang sudah ada sejak jaman Jawa Kuno.

Beberapa sodetan untuk mengendalikan luapan Sungai brantas juga dilakukan pada masa itu dengan membuat Kali Brangkal dan Kali Porong. “Masyarakat jaman dahulu juga sudah bisa membuat kolam untuk menampung luberan air, ini bisa dilihat dari kolam segaran di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan,” kata Dwi.

Pengelolaan manajemen sumber mata air juga diterangkan Komang Armada, pegiat lingkungan dari Bali Utara. Komang juga aktif di komunitas Catur Desa. Sebuah komunitas yang terdiri dari empat desa di Bali Utara yang gigih memegang teguh perlindungan sumber mata air di sana dengan sebuah prasasti sejak ratusan tahun lalu.

Empat desa itu adalah Desa Munduk, Gobleg, Gesing, dan Ume Jero. Keempatnya berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Menurutnya, musuh utama mereka adalah pariwisata.

Namun, proteksi utama berupa prasasti yang ada sejak nenek moyang mereka dan diperbarui dengan aturan-aturan tambahan membuat para investor sulit untuk masuk ke kawasan empat desa ini, dimana terdapat danau terindah yang bernama Danau Tamblingan. “Kami proteksi sekali terhadap sumber air dengan regulasi dan tradisi yang kuat oleh masyarakat sana,” kata Komang Armada di sela-sela Festival Air 2014 di Kota Batu.

(G17)

Top