Subak Jatiluwih, Sistem Distribusi Air yang Adil di Pulau Dewata

Reading time: 2 menit
Subak Jatiluwih. Foto: World Water Forum
Subak Jatiluwih. Foto: World Water Forum

Jakarta (Greeners) – Subak Jatiluwih merupakan salah satu contoh sistem irigasi sawah khas Pulau Dewata. Selama ratusan tahun, masyarakat setempat memanfaatkan parit sebagai penampungan air yang akan terus mengalir ke sawah mereka.

Pemandangan alam yang menakjubkan tentu menjadi satu daya tarik wisata. Tidak jarang pemandangan alam yang indah ada di sana berkat kelestarian tradisi dan budaya yang telah lama lestari.

Salah satu objek wisata yang menarik perhatian dunia adalah pemandangan sawah bertingkat yang berada di dataran tinggi Bali. Salah satunya adalah lahan bertingkat seluas sekitar 300 hektare di Jatiluwih Kabupaten Tabanan yang penuh hamparan sawah dengan nasi berjejer di jalan.

Sawah di kawasan ini telah terpelihara selama ratusan tahun dan tumbuh subur berkat bantuan sistem irigasi yang adil bagi seluruh petani. ‘Subak’ terkenal sebagai sistem air komunal yang masyarakat setempat kelola.

BACA JUGA: Subak, Sistem Pertanian Berkelanjutan di Bali

Pengelola objek wisata Subak Jatiluwih, John K Purna yang juga berkecimpung di bidang pertanian menjelaskan, para petani di kawasan itu sudah turun temurun berkumpul secara berkelompok.

“Belum tahu secara pasti tahun berapa nenek moyang masyarakat Jatiluwih mulai menggunakan sistem irigasi Subak. Sebab, selama ini masyarakat sekitar mengetahui bahwa mereka selalu tergabung dalam kelompok tani dan menerima aliran air dari parit,” ungkap Purna lewat keterangan tertulisnya.

Saat ini, kelompok tani terbagi menjadi tujuh tempekan yang tokoh adat pimpin disebut Pekaseh. Rata-rata satu kelompok terdiri dari 35 orang petani, sehingga jumlah petani seluruhnya 254 orang.

Budaya pertanian ini berkelanjutan karena berjalan berdasarkan keadilan. Hal ini terlihat dari pemerataan air kepada seluruh anggota.

Jatiluwih juga terpilih sebagai salah satu tujuan field trip delegasi World Water ForumWorld Water Forum (WWF) ke-10. Forum internasional ini akan dilaksanakan pada 18 hingga 25 Mei 2024.

Kerja Sama sebagai Kunci untuk Merawat Air

Sampai saat ini, masyarakat masih melanjutkan sistem kerja sama untuk merawat air. Mereka menjaga parit dan merawat subak agar selalu bersih dan mampu mengalirkan air ke sawah mereka.

“Dulu, nenek moyang kami tahu di mana sumber airnya. Maka dibuatlah parit dari atas sana, mengalirkan air ke sawah. Jumlah air yang diberikan akan disesuaikan dengan luas wilayah yang perlu ditampung. Ini tradisi yang selalu kami pertahankan,” kata Purna.

Kemudian, di beberapa titik di kawasan Subak Jatiluwih terdapat tembuku atau titik pembagian air. Dari situ, air akan masuk ke selokan yang disemen lalu mengalir dari atas sawah ke hilir tanpa bantuan mesin apa pun.

BACA JUGA: Bersihkan Eceng Gondok Agar Ekosistem Perairan Terjaga

“Pada umumnya, sawah di luar Bali menggunakan sistem pengairan sendiri. Ada yang memompa air secara manual dari daerah yang lebih rendah, namun di sini tidak boleh. Semua sumber air mengalir, tidak boleh sengaja mengambil air orang lain,” ujarnya.

Warga meyakini warisan budaya yang UNESCO akui ini tetap eksis karena penerapan Tri Hita Karana. Mereka menjaga keseimbangan antara hubungan. Tidak hanya antarmanusia, tetapi juga hubungan manusia dengan alam dan dengan Tuhan.

Sumber Air Berasal dari Hutan Batukaru

Air yang mengairi Subak Jatiluwih setiap hari berasal dari Hutan Batukaru. Vegetasi yang lebat di hutan menyimpan air pada musim hujan dan mengeluarkannya pada musim kemarau. Air yang berasal dari hutan mengalir menuruni tebing dan mengalir ke tanggul dan air akan mengalir ke persawahan.

Hingga saat ini, masyarakat tidak pernah mengalami kendala dalam memenuhi kebutuhan airnya. Selain tertampung di tanggul, Tabanan memiliki beberapa sumber mata air. Apalagi, pendistribusian air mereka lakukan berdasarkan keadilan dan kerja sama sehingga tidak terjadi kekurangan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top