Ecoton Pamerkan Program Aksi Brantas di World Water Forum

Reading time: 3 menit
Ecoton memamerkan program Aksi Brantas di World Water Forum. Foto: Ecoton
Ecoton memamerkan program Aksi Brantas di World Water Forum. Foto: Ecoton

Jakarta (Greeners) –  Ecological Observation & Wetlands Consevation (Ecoton) memamerkan program Aksi Brantas pada ajang World Water Forum ke-10 di Bali. Program tersebut bertujuan memulihkan Sungai Brantas di Jawa Timur. Hal itu melalui model inovatif yang memprioritaskan perempuan dan anak-anak untuk memulihkan kualitas air sungai.​

Sebagai salah satu ekosistem lahan basah di Indonesia, kondisi Sungai Brantas terkontaminasi sampah plastik. Sungai tersebut juga makin tercemar mikroplastik dan limbah industri.

Melihat permasalahan tersebut, Ecoton berkolaborasi dengan lima lembaga di Belanda dan Indonesia dalam menginisiasi proyek pemulihan kualitas air Sungai Brantas lewat program Aksi brantas.

BACA JUGA: Limbah Industri Micin dan Kertas Cemari Kali Brantas Jatim

“Salah satu tujuan proyek ini adalah meningkatkan partisipasi masyarakat di Sungai Brantas. Khususnya, perempuan dan anak dengan memberikan pelatihan pemantauan pencemaran dan kerusakan sungai melalui program Citizen Science. Proyek ini juga menjalin koordinasi dan kolaborasi untuk menjalankan aksi solusi dengan pemerintah, lembaga pendidikan dan komunitas,” ungkap Direktur Eksekutif Ecoton, Daru Setyorini di Bali.

Program Aksi Brantas ini ia paparkan di depan para panelis dari berbagai negara. Ia menjelaskan bahwa program Aksi Brantas terlaksana selama enam tahun, mulai dari tahun 2018 hingga 2024. Program ini telah memperkuat 15 kelompok komunitas peduli Sungai Brantas.

Ecoton memamerkan program Aksi Brantas di World Water Forum. Foto: Ecoton

Ecoton memamerkan program Aksi Brantas di World Water Forum. Foto: Ecoton

Aksi Brantas Hasilkan Kolaborasi dengan Pemerintah

Program Aksi Brantas telah menghasilkan kolaborasi dengan pemerintah terkait pengelolaan sungai. Di antaranya Balai Besar Wilayah Sungai Brantas, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Dinas Perikanan dan Kelautan serta Dinas Kesehatan.

“Kolaborasi seperti ini perlu dikembangkan dan direplikasi agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif menjaga sungai di wilayahnya. Pemerintah juga dapat mencapai target pengelolaan sumber daya air dengan dukungan masyarakat yang berdaya dan peduli pada kelestarian sungainya,” imbuhnya.

Selain itu, Daru juga memaparkan pentingnya meningkatkan kapasitas masyarakat komunitas peduli lingkungan. Hal itu bertujuan supaya masyarakat mampu berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya air, pemulihan kualitas air, dan kerusakan sungai serta mengembangkan solusi lokal yang efektif mengurangi ancaman kerusakan sungai.

Menurut Daru, perempuan dan anak adalah kelompok yang rentan terdampak polusi lingkungan. Namun, sayangnya, belum mendapat akses informasi dan partisipasi dalam pengelolaan sumber daya air.

Peneliti IHE Delft Belanda, Tamara Grujic juga mengapresiasi program Aksi Brantas. Menurutnya, Aksi Brantas merupakan program yang berhasil menggerakkan lebih banyak komunitas sungai berkontribusi dalam perlindungan sungai.

Perempuan Kunci Pemulihan Kerusakan Sungai

Koordinator River Warrior, Thara Bening Sandrina mengatakan bahwa perempuan dan anak adalah kunci pemulihan kerusakan sungai Indonesia. Perempuan memegang kendali pengelolaan sampah yang menjadi masalah utama polusi plastik di sungai.

“Gen Z juga memegang pengaruh atau sugesti publik untuk perubahan. Gerakan perubahan oleh anak muda bisa meng-influence perubahan kebijakan. Contohnya gerakan Pandawara dan aksi Aeshnina ‘Gretta Indonesia’ yang aktif menolak sampah impor. Kedua aksi ini memicu sentimen publik dan pembuat kebijakan,” ungkap Thara.

BACA JUGA: Ancaman Mikroplastik Terhadap Kesehatan Manusia dan Lingkungan

Menurut Thara, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air belum mendapat ruang yang cukup. Lembaga koordinasi formal kurang memberikan akses informasi dan partisipasi pada masyarakat luas.

“Komposisi anggota forum koordinasi dari elemen masyarakat perempuan dan anak seringkali belum terwakili. Pengelolaan sumber daya air masih didominasi oleh kepentingan korporasi. Pembangunan infrastruktur pengairan yang seringkali mengabaikan pelibatan masyarakat dalam semua tahapan pelaksanakan program pengelolaan sumber daya air,” imbuh Thara.

Menurut Thara, hal tersebut telah memicu ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, ada dampak kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat lokal.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top