Perempuan bergamis ungu itu sibuk membagi-bagikan kaos ke para ibu yang berkumpul di dermaga Bohe Silian pada Kamis, 11 September 2015. Jilbab segitiga disampirkan di bahu. Sesekali terlepas, tapi hanya dililitkan saja untuk sekadar menutupi kepala.
“Nanti berbarislah di depan darmaga, berpura-pura kita membersihkan bulu babi,” ucap Susnila nama perempuan asli Bajo yang tinggal di Maratua, Kalimantan Timur itu kepada delapan orang perempuan anggota Kelompok Ibu-Ibu Mella Danakan. Mereka sudah berseragam kaos yang di dadanya terpatri tulisan kelompok Mella Danakan, Bohe Silian Maratua, Kampung Ekowisata.
Bohe Silian, kampung tertua di Maratua ini perlahan tumbuh menjadi desa ekowisata. Tak ada resor atau pengusaha yang mengelolanya, tapi seluruh warga bergandeng tangan menyambut para pelancong di pulau terluar Indonesia ini. Para perempuannya tergabung dalam kelompok ibu-ibu memasak yang terdiri dari 40 anggota.
Mella berarti memasak dalam bahasa Bajo. Adapun Danakan adalah keluarga. “Semua anggota ibu-ibu memasak ini memang sudah berkeluarga,” kata perempuan 26 tahun itu menjelaskan arti nama kelompok mereka. Petang itu, Mella Danakan tengah disyuting oleh stasiun televisi dalam pengolahan bulu babi. Kepiawaian meramu cangkang bulu babi menjadi kudapan teman minum teh telah memikat jurnalis televisi tersebut. “Baru kali ini kami disyuting,” kata dia dengan senyum merekah.
Hanya Nila, sapaan Susnila, yang tidak berseragam. Ia mengawasi delapan sejawatnya yang sesekali tertawa merasakan pengalaman pertama masuk televisi. Ibu-ibu di desa Bohe Silian ini memang rencananya akan menyajikan tehe-tehe olahan bulu babi berisi ketan ini, kepada tamu yang menginap hari itu. Tak belaka tehe-tehe, bagi yang memesan masakan dengan mereka akan bisa mencecap balelo (semacam siput laut), dan sayur asam lokai (ikan dimasak dengan daun lokai). Tiga sajian tersebut menurut Nila, memang berakar dari Bohe Silian.
Nila ditunjuk sebagai ketua kelompok, lantaran dia dekat dengan Iriani, Koordinator Program dari Yayasan Berau Lestari (BESTARI) yang mendampingi para ibu ini. Yayasan Bestari adalah Lembaga Swadaya Masyarakat dari Berau yang sudah masuk ke Maratua sejak tahun 2001. Delapan tahun kemudian, pada 2009, Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) ikut memperluas dukungan di Maratua.
KEHATI melihat bahwa perkembangan wisata di Maratua harus bisa dirasakan langsung oleh warga, bukan belaka usahawan atau penanam modal. Mengingat di tiga kampung lainnya, Bohe Bukut, Payung-Payung dan Teluk Alulu sudah ramai berdiri resor wisata yang mengambil lokasi di pesisir dengan panorama alam yang ciamik, tapi dikuasai orang dari luar Maratua. Bohe Silian dipilih sebagai desa percontohan agar masyarakat bisa mandiri, mendapatkan manfaat ekonomi sekaligus menjaga keanekaragaman hayati.
Dari Nila dan teman-temanya inilah, BESTARI, KEHATI bersama Chevron Company (CICo) menitipkan penjagaan beranda terluar Indonesia. Nila merasakan betul dampak manajemen kampung ekowisata. Setidaknya satu kelompok yang berisi lima orang bisa mengantongi Rp 1.650.000 ribu. “Itu sudah bersih,” kata Ibu dua anak ini. Tapi, syaratnya harus ada sekitar 40 orang yang menginap semalam dan mengandalkan asupan tiga kali sehari dari mereka. Pendapatan tambahan yang signifikan, dibanding dengan kegiatan harian mereka sebagai Ibu-ibu rumah tangga. Hanya saja, panen pesanan biasanya datang sekitar akhir tahun atau bulan-bulan usai idul fitri. Di luar kurun tersebut, tamu-tamu yang berkunjung biasanya perseroangan, sehingga tanggung jawab ada pada pemilik penginapan.
Lewat mereka pula, masuk manajemen sampah rumah tangga. “Kami dilatih membuat aneka kerajinan dari plastik, tempurung kelapa dan kayu” kata perempuan yang juga berprofesi sebagai guru Taman Kanak-Kanak ini.
Masalah sampah di pulau kecil dengan daya dukung lingkungan yang rendah perlu menjadi fokus. Apalagi Desa Bohe Silian diharapkan menjadi kampung ekowisata yang lestari. Program Manager Konservasi Ekosistem Pesisir dan Pulau Kecil KEHATI, Basuki Rahmad mengatakan diharapkan terwujud desa yang zero waste. Sampah organik menjadi kompos, sampah anorganik diolah untuk dijual lagi ke luar pulau.
“Kami percaya desa yang berdaya dan mandiri mampu menjaga keanekaragaman hayatinya agar tetap lestari,” ujar Direktur Eksekutif KEHATI M.S Sembiring.
(*)