Mengenal Budaya Sikka di Plewo Doi

Reading time: 2 menit
Tari "Togo Pare" atau tarian untuk memisahkan padi dengan kaki dari Sikka. Foto: greeners.co/Renty Hutahaean

Jakarta (Greeners) – Sore itu sinar matahari cukup menyilaukan mata. Udara yang terasa agak panas ditambah dengan orang-orang yang berkumpul mengitari halaman rumput dengan luas tidak seberapa menambah pengap udara. Namun, tidak berapa lama, suasana berubah hening ketika seorang wanita setengah baya berteriak dan mulai melantunkan nyanyian.

Seiring “aba-aba” perempuan tadi, tujuh orang perempuan dan lima orang laki-laki masuk beriringan ke tengah lapangan. Mereka menari dan menyanyi dalam bahasa Sikka. Hanya entakan kaki dan pukulan sebatang kayu pada batok kelapa yang mengiringi nyanyian mereka. Tarian tradisional ini disebut tarian “Togo Pare” atau tarian untuk memisahkan padi dengan kaki.

Baik laki-laki maupun perempuan penari tersebut mengenakan kain tradisional khas Sikka. Hiasan kepala, ikat rambut, kalung manik-manik, gelang, hingga tas selempang, semuanya khas Sikka. Beberapa dari antara mereka bahkan mengunyah sirih kala menyanyi.

Kedatangan mereka sore itu tidak terlepas dari Noesa, sebuah studio kecil di Jakarta yang fokus pada pelestarian budaya. Duo pendiri Noesa, Cendy Mirnaz dan Annisa Hendrato mengajak komunitas warga Kabupaten Sikka di Flores, Nusa Tenggara Timur untuk memperkenalkan budaya dan karya buatan tangan mereka dalam acara bertajuk “Plewo Doi” di Dia.lo.gue Artspace Kemang, Jakarta.

(kiri-kanan) Annisa Hendrato dan Cendy Mirnaz, pendiri Noesa. Foto: greeners.co/Renty Hutahaean

(kiri-kanan) Annisa Hendrato dan Cendy Mirnaz, pendiri Noesa. Foto: greeners.co/Renty Hutahaean

Sebagaimana nama acara ini “Plewo Doi”, yang dalam bahasa Sikka berarti memperkenalkan diri, Noesa memboyong komunitas dalam Sanggar Seni Watubo dari Kabupaten Sikka untuk memperkenalkan budaya mereka dengan berbagai pertunjukan seni dan pameran kerajinan tangan di Jakarta.

“Di Noesa, kami tidak hanya membuat acara tapi kami membuat produk juga karena target market kami anak muda. Bagaimana caranya memasukan seni dan budaya Indonesia ke anak muda supaya mereka tidak sekadar memakai tapi juga tahu arti motif dan cerita dibaliknya,” ujar Cendy, Jakarta (23/05/2015).

Dalam rangkaian acara yang berlangsung pada tanggal 2-13 Mei 2015 dan tanggal 22-24 Mei 2015 tersebut, berbagai kegiatan seperti pertunjukan tari-tarian tradisional, pameran kain tradisional Sikka, workshop tenun, hingga workshop pewarnaan dengan bahan-bahan alami digelar untuk umum. Selain itu, ada pula bazzar yang menjual pernak-pernik, kain dan busana dalam motif kontemporer Sikka.

Seorang penenun asli Sikka tengah menunjukkan cara menenun kain kepada pengunjung. Foto: greeners.co/Renty Hutahaean

Seorang penenun asli Sikka tengah menunjukkan cara menenun kain kepada pengunjung. Foto: greeners.co/Renty Hutahaean

“Ternyata dengan mengadakan acara seperti ini, kami membangun self development bagi mereka (komunitas warga Sikka). Saat pameran pertama kali, mereka banyak diam karena takut salah dan malu. Dulu kami juga sempat membantu administrasi mereka, tapi sekarang mereka sudah menjalankan administrasi mereka sendiri,” ungkap Annisa dengan nada senang.

Cendy dan Annisa yang mengaku baru serius menjalankan Noesa pada akhir tahun 2014 lalu sadar bahwa usaha mereka mengenalkan salah satu budaya dari Timur Indonesia memang tidak besar dan dalam waktu yang terbilang singkat. Namun keduanya optimis dengan konsep yang mereka usung bahwa usaha mereka dapat saling mengisi dan memberdayakan masyarakat adat.

Penulis: Renty Hutahaean

Top