Yayasan Kehati Gelar Penghargaan bagi Pejuang Keanekaragaman Hayati

Reading time: 2 menit
Kehati Award
(kiri ke kanan) Prof. Ocky Karna Radjasa, M.Sc, Ph.D, Pemenang KEHATI Award Kategori Cipta Pelestari KEHATI 2006, Desi Anwar Juri KEHATI Award 2020, Drs. Emil Salim, Pendiri Yayasan KEHATI, Ismid Hadad, Ketua Pembina Yayasan KEHATI, Amir Abadi Jusuf Ketua Pengawas Yayasan KEHATI, dan Riki Frindos Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI. dalam acara konferensi pers Kehati Award, di Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020. Foto: Yayasan Kehati

Jakarta (Greeners) – Yayasan Kehati menggelar ajang penghargaan untuk para pejuang keanekaragaman hayati. Penghargaan ini dalam rangka memotivasi para pegiat konservasi di Indonesia yang terus memperjuangkan pelestarian dan pemanfaatan biodiversitas secara berkelanjutan. Di tengah kerusakan yang banyak terjadi, ajang ini diharapkan dapat menginspirasi pihak lain untuk melakukan perlindungan.

“Kami berharap KEHATI Award yang ke-9 ini dapat menumbuhkan dan mendorong minat seluruh komponen bangsa Indonesia untuk lebih mempedulikan, mencintai, dan mengambil peran dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati,” ujar Riki Frindos Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI di Jakarta, Kamis (16/01/2020).

Riki Frindos mengatakan kegiatan ini merupakan bentuk apresiasi kepada para masyarakat yang telah berpartisipasi mengurangi kerusakan alam. Penghargaan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman akan pentingnya keanekaragaman hayati, pelestarian, dan pemanfaatannya secara bijak dan berkelanjutan, serta pembagian manfaatnya yang berlandaskan keadilan.

Baca juga: Biopiracy Masih Marak Terjadi, Pemerintah Belum Berpihak pada Konservasi Kehati

Sebagai pendiri Yayasan Kehati, Prof. Emil Salim menuturkan bahwa acara ini sebagai edukasi bagi masyarakat secara luas. Saat ini banyak pembangunan ekonomi yang menomorduakan keberlanjutan keanekaragaman hayati. Lewat penghargaan ini juga, kata Emil, diharapkan banyak masyarakat yang bisa teredukasi mengenai pentingnya keanekaragaman hayati untuk masa depan.

“Sebetulnya musuh keanekaragaman hayati ini adalah ekonomi. Karena merugikan akar sumber daya alam. Banyak hutan yang ditebang dan ditanami sawit untuk meraih keuntungan semata. Maka, bagaimana menjelaskan kepada masyarakat bahwa mengelola alam lebih penting daripada keuntungan ekonomi,” ujar Emil.

Kehati Award

Pendiri Yayasan Kehati, Prof. Emil Salim mengharapkan masyarakat dapat teredukasi pentingnya keanekaragaman hayati untuk masa depan, di Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020. Foto: Yayasan Kehati

Emil berharap KEHATI Award dapat memberikan pemahaman bahwa pembangunan yang baik tidak mengeksploitasi sumber daya alam, tapi bisa melestarikan alam. KEHATI Award juga bertujuan mengidentifikasi para pelaku usaha yang melakukan praktik berkelanjutan sehingga dapat terhubung dengan beberapa lembaga seperti perbankan dan pelaku usaha lain.

Pada akhirnya kegiatan ini diharapkan bisa menciptakan pengembangan usaha sesuai dengan misi KEHATI yaitu memperluas gerakan ekonomi dan budaya lokal berbasis pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati di tingkat lokal, nasional, dan internasional.

Baca juga: Taman Kehati, Benteng Perlindungan Tumbuhan Lokal Indonesia

Pemenang Kehati Award Kategori Cipta Pelestari Tahun 2006, Prof. Ocky Karna Radjasa membahas tentang pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk ekonomi dalam karyanya. “Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki, kita tidak mungkin hanya mengonservasi dan memelihara. Tapi, di satu sisi ada manfaat bioekonomi atau bioprospeksi, bagaimana keanekaragaman hayati memiliki nilai ekonomi,”ujar Oky.

KEHATI Award yang diselenggarakan sejak tahun 2000 ini akan memasuki tahap pendaftaran hingga 31 Maret 2020. Panitia akan mengidentifikasi dan mencari kandidat yang masuk ke dalam kategori penghargaan. Setelah itu, akan dilakukan penjurian, penyaringan, kunjungan lapangan hingga proses final.

KEHATI Award memiliki 6 kategori yang menyasar individu, kelompok, atau institusi, antara lain, prakarsa Kehati, perseorangan atau kelompok dari komunitas masyarakat lokal, seperti masyarakat adat, rukun warga desa, karang taruna, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Organisasi non-pemerintah (Ornop) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta kelompok lain yang berbasis masyarakat lokal.

Penulis: Dewi Purningsih

Top