Atraksi Lumba-Lumba, Masyarakat Diminta Lebih Peduli

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: Ist.

Jakarta (Greeners) – Baru-baru ini masyarakat pengguna internet (netizen) dihebohkan dengan petisi berisi tuntutan untuk menghentikan pertunjukan atau atraksi lumba-lumba. Petisi ini diajukan oleh seorang wisatawan asal Australia yang juga peselancar bernama Craig Brokensha. Brokensha mempetisi objek wisata sekaligus resort di Gianyar, Bali, bernama Wake Bali Dolphin.

Petisi yang diunggah melalui situs Change.org ini dilakukan untuk menyelamatkan empat ekor lumba-lumba yang diduga dieksploitasi dan mendapat perlakuan yang tidak layak dari pengelola Wake Bali Dolphin. Pihak pengelola resort menempatkan keempat ekor lumba-lumba tersebut di dalam kolam berukuran 10 x 20 meter dengan kadar kaporit yang tinggi.

Sebelumnya, petisi penyelamatan lumba-lumba juga pernah dilakukan oleh gitaris band Netral, Christopher Bollemeyer. Pria berjanggut lebat itu juga berkampanye untuk melindungi lumba-lumba. Ia berjuang secara formal dan informal dengan mengajak sesama musisi dan rekan-rekannya untuk tidak menonton sirkus lumba-lumba.

Menanggapi ramainya petisi untuk melindungi lumba-lumba ini, Direktur Eksekutif Indonesian Society for Animal Welfare (ISAW), Kinanti Kusumawardani turut menyayangkan semakin maraknya atraksi dan eksploitasi mamalia berdarah panas ini. Menurutnya, lumba-lumba adalah satwa liar yang tidak seharusnya terpenjara dalam kolam kecil atau lagoon buatan sekalipun.

“Di laut bebas lumba-lumba itu dapat menjelajah lebih dari 64 kilometer setiap harinya. Hal ini tentu tidak dapat difasilitasi oleh lingkungan buatan manapun,” tutur Kinanti kepada Greeners, Jakarta, Rabu (15/07).

Selain tidak baik untuk kesehatan lumba-lumba, lanjut Kinanti, atraksi dan eksploitasi yang dilakukan pada lumba-lumba juga berbahaya bagi pengunjung khususnya anak-anak. Ia mengingatkan kembali bahwa lumba-lumba adalah satwa liar dan tidak ada yang dapat menjamin kejinakannya setiap saat.

“Sudah banyak kasus dimana manusia digigit atau lecet karena interaksi langsung dengan lumba-lumba, bahkan ada yang bisa sampai menyebabkan patah tulang,” tambahnya.

Menanggapi ijin yang telah dimiliki oleh beberapa tempat atraksi lumba-lumba, ia kembali menyayangkan hal tersebut. Menurut Kinanti, meskipun keberadaan tempat atraksi tersebut legal, maka apabila masyarakat mencintai lumba-lumba hal paling sederhana yang dapat dilakukan adalah tidak membeli tiket untuk masuk ke area tersebut.

“Saran kami, jika memang mau melakukan ecotourism lumba-lumba, hal ini bisa dengan dolphin watching langsung di laut tanpa mengganggu ekosistem maupun lumba-lumbanya,” terang Kinanti lagi.

Dihubungi terpisah, Direktur Jendral (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Tachrir Fathoni pun tidak membantah bahwa secara aturan memang dibolehkan sebuah lembaga untuk mendapatkan ijin seperti yang dimiliki oleh Wake Bali Dolphins. Tapi, katanya lagi, semua itu tetap harus berada pada koridor UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

“Memang undang-undang itu tidak membahas standar teknik untuk kesejahteraan hewan. Tapi tetap kalau ternyata ada penyimpangan terkait animal walfare, itu akan kita tindak,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top