Jakarta (Greeners) – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, banjir rob yang sempat mengepung Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada Senin (13/2) lalu menyebabkan sekitar 1.869 orang mengungsi.
“Akibat dari banjir Kota Makassar tersebut sebanyak 554 KK atau 1.869 orang mengungsi dan sebagian besar dievakuasi di 21 titik pengungsian,” kata Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, BNPB Abdul Muhari dalam keterangannya.
Adapun wilayah terdampak banjir ini berada di tujuh kecamatan, yakni Kecamatan Manggala, Ujung Pandang, Rappocini, Mamajang, Tamalanrea, Biringkanaya, serta Makassar.
Banjir ini telah menyebabkan kerugian material, 554 unit rumah terendam. Selain itu luapan air menyebabkan genangan antara 50 sentimeter hingga 100 sentimeter sehingga mengganggu aktivitas warga.
Sebelumnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Makassar menyatakan curah hujan tinggi yang diperparah dengan pasang air laut memicu banjir rob ini.
Peneliti Tata Ruang Makassar Research for Advance Transformation (Ma’REFAT Institute) Mohammad Muttaqin Azikin mengungkapkan, banjir di Makassar merupakan masalah lama dan terus berulang. Akar pemicunya karena kecenderungan tata ruang sebagai pedoman pembangunan diabaikan.
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Makassar tahun 2015-2034 belum secara efektif berjalan.
“Akibatnya, berbagai macam problem perkotaan bermunculan, dan salah satunya adalah banjir. Makassar mengalami banjir, bukan lagi sesuatu yang mengagetkan karena memang kondisinya memungkinkan hal itu terjadi,” katanya kepada Greeners, Kamis (16/2).
RTH dan Daerah Resapan Air Minim
Dewan Penasehat Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Sulawesi Selatan ini menyebut masih kurangnya daerah resapan air dan ruang terbuka hijau. Daerah resapan air banyak beralih fungsi menjadi perumahan hingga ruko.
“Sementara ruang terbuka hijau (RTH) masih sangat minim, belum mencapai 10 %. Padahal UU Tata Ruang mensyaratkan 20 % untuk publik dan 10 % privat,” kata Muttaqin.
Hal itu pula yang memicu Makassar belum menjadi kota yang berwawasan lingkungan. Padahal dalam visi Kota Makassar yang tertuang dalam RPJPD tahun 2005-2025 menegaskan hal tersebut. Banjir di Makassar sudah bukan sekadar bencana lagi, namun sudah menjelma menjadi “tragedi”.
Faktor lain yakni terkait dengan penurunan muka tanah (land subsidence). Meski Muttaqin belum melakukan kajian, tapi ia menduga menjadi salah satu pemicu banjir rob. “Ketika posisi daratan sudah lebih rendah dengan permukaan air laut, sehingga membuat air laut melimpah masuk ke daratan,” kata dia.
Ia mendorong, pihak Pemerintah Kota Makassar melakukan pengamatan, pengkajian dan penelitian terkait fenomena penurunan muka tanah tersebut. Selain itu juga perlu melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas eksploitasi air, khususnya di sekitar pesisir Makassar. “Sebab, ini merupakan ancaman besar bagi Kota Makassar di waktu mendatang,” tandasnya.
Penulis: Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin