Bengkulu Darurat Sampah Plastik

Reading time: 3 menit
Tim peneliti dari Mapetala dan Ecoton membentangkan poster yang menyuarakan kondisi darurat sampah. Foto: Ecoton

Jakarta (Greeners) – Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapetala) Bengkulu bersama Ecoton mengungkap, wilayah Bengkulu darurat sampah plastik. Ini terlihat dari temuan bahan baku air Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) yang bersumber dari tiga sungai di Bengkulu tercermar mikroplastik.

Ketua Mapetala Bengkulu, Andi Kurnia di Bengkulu menyatakan, sampah plastik yang mencemari perairan Bengkulu memberikan dampak nyata pada kerusakan ekosistem. Padahal selama ini masyarakat bergantung pada aliran tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Sumber air PDAM Bengkulu dari Sungai Nelas dan Air Bengkulu telah terkontaminasi mikroplastik 10-20 partikel dalam 100 liter air. Lalu dalam setiap ekor ikan di Pantai Segara Bengkulu ditemukan 16-41 partikel mikroplastik,” katanya dalam keterangan tertulis, baru-baru ini.

Menurut Andi, dalam lambung ikan layur (Trichiurus lepturus), ikan gulama (Johnius trachycephalus), ikan kuwe (Carangoides caeruleopinnatus), ikan lemah (Lactarius lactarius) dan ikan lencam (Lethrinus lentjan) di Pantai Segara Bengkulu ada kandungan mikroplastik. Hal ini berdasarkan penelitian Prodi Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu pada September 2020 hingga Februari 2021.

Kuat dugaan mikroplastik berasal dari produksi sampah plastik yang setiap tahun dibuang ke laut. Di pesisir Pantai Panjang mereka juga temukan beragam jenis sampah, mulai dari styrofoam, tas kresek, sandal, popok dan kemasan makanan dalam bentuk sachet tercecer sepanjang pantai.

Ia juga menyebut, sampah laut (marine debris) yang mereka jumpai di Pantai Panjang sekitar 65 persennya adalah jenis sampah anorganik seperti karet, beling dan terbanyak adalah sampah plastik. Sementara, 35 persen lainnya adalah sampah organik berupa sampah sisa makanan, kayu, daun dan material alam lainnya.

“Sampah-sampah ini berasal dari sungai-sungai yang bermuara di Pantai Panjang. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah proses fragmentasi yang memecah sampah plastik menjadi ukuran lebih kecil (mikroplastik),” paparnya.

Timbulan Sampah Ilegal di Bengkulu

Guna mengendalikan kontaminasi mikroplastik di perairan Bengkulu, tim peneliti Mapetala, Telapak Badan Teritori Bengkulu berkolaborasi dengan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara dari Ecoton mengidentifikasi timbulan sampah. Mereka menemukan 20 lokasi timbulan sampah liar di Kota Bengkulu. Penumpukan sampah terbanyak mereka temukan di sepanjang Pantai Panjang Bengkulu, tiang penyangga jembatan dan jalan.

“Kami mengidentifikasi timbulan sampah ilegal di Kota Bengkulu dan menemukan lebih dari 20 lokasi timbulan sampah liar. Terutama di jembatan dan saluran air, sampah yang ada kita kumpulkan dan identifikasi merek atau brand produsennya,” ungkapnya.

Lebih jauh Andi menyebut, timbunan sampah liar di Kota Bengkulu sebagian besar sampah tidak terpilah. Sampah organik dan anorganik bercampur menjadi satu.

Andi menyoroti selama ini pemerintah daerah kurang memberikan penindakan tegas untuk memastikan pemilahan sampah tersebut. Selain itu, pemerintah daerah juga tidak menyediakan sarana pengumpulan sampah di tiap RT, desa/kelurahan yang memadai dan cukup.

“Akibatnya masyarakat di Bengkulu masih membuang sampahnya ke tepi jalan, lahan terbuka/kebun sawit, saluran air, jembatan dan sungai. Hal ini karena minimnya fasilitas tempat sampah pada fasilitas umum dan fasilitas sosial,” imbuhnya.

Timbulan sampah ilegal ini mencemari tiga sungai di Bengkulu. Foto: Ecoton

Sampah Plastik yang Berubah Menjadi Mikroplastik Beri Dampak Serius

Peneliti Ekspedisi Sungai Nusantara Ecoton, Amirrudin Muttaqin menyebut, mikroplastik akan memberi dampak serius pada tubuh manusia. Salah satunya, penurunan kualitas dan kuantitas sperma.

Ia mendorong, agar Pemkot Bengkulu memastikan pengelolaan sampah plastik yang selama ini kurang optimal. “Sampah-sampah plastik yang tidak terkelola inilah yang menjadi sumber terbentuknya mikroplastik,” katanya.

Pemerintah Kota Bengkulu, sambung dia harus menyediakan tempat sampah organik dan sampah anorganik pada fasilitas umum dan fasilitas sosial. Hal ini mengacu pada Pasal 19 Perda nomor dua tahun 2011.

Pemerintah menurutnya, juga perlu membuat regulasi larangan atau pengurangan penggunaan sampah plastik sekali pakai seperti mengurangi timbulnya sampah plastik.

Ia juga menyebut, perlunya mengajak para produsen pengguna plastik, seperti PT Wings, PT Indofood, PT Unilever, PT Unicharm, PT Mayora, PT Santos, PT Nestle, Danone, Coca-cola dan produsen penghasil sampah plastik ikut bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor: Ari Rikin

Top