56,64 % Rumah Tangga Bakar Sampah, Perburuk Pencemaran Udara

Reading time: 2 menit
Membakar sampah bisa hilangkan sampah secara instan, namun memperburuk pencemaran udara dan perubahan iklim. Foto : Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Kebiasaan membakar sampah secara terbuka masih kerap masyarakat lakukan. Sekilas, pembakaran sampah memang dapat menghilangkan sampah secara instan. Akan tetapi, aktivitas membakar sampah ini menjadi salah satu pemicu pencemaran udara yang berimbas pada kesehatan dan lingkungan.

Community Manager Bicara Udara Novita Natalia menyebut, masih ada 54,64 % rumah tangga membakar sampah. Padahal dari pembakaran sampah ini berimbas pada peningkatan gas rumah kaca dan mempengaruhi perubahan iklim. “Pembakaran sampah merupakan langkah praktis menghilangkan sampah. Tapi ini berdampak buruk pada pencemaran udara,” katanya baru-baru ini.

Novita juga menyorot indoor polutan yang bersumber dari aktivitas proses memasak menggunakan tungku api terutama di luar daerah. Proses pembakaran dari tungku ini menghasilkan PM 2,5 yang juga berdampak pada kesehatan.

PM 2,5 yang berukuran 30 kali lipat lebih kecil dibanding rambut manusia, menyebabkan tubuh manusia tidak mampu memfilternya hingga terperangkap di paru-paru. Ancaman kesehatan terhadap dampak PM 2,5 di antaranya kelahiran prematur dengan berat badan janin rendah. Pada orang dewasa, PM 2,5 menyebabkan penyakit asma, bronkitis kronis, paru-paru serta jantung koroner.

Demi memastikan udara yang bersih tak tercemar udara, Novita mendorong agar pemerintah menerapkan standar baku mutu ambien mengikuti standar panduan World Health Organization (WHO).

“Kalau mau membuat Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia bebas polusi maka harus mengikuti standar yang WHO tetapkan. Ini seharusnya menjadi concern pemerintah yang paling utama untuk kualitas udara yang lebih baik,” ucapnya.

Pencemaran Udara Tak Hanya Berasal dari Transportasi dan Industri

Udara bersih merupakan hak semua warga negara dan ini tertuang dalam konstitusi di Indonesia. Akan tetapi faktanya pemerintah belum menjamin hal itu. Selama ini pemerintah menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 dalam menentukan baku mutu udara.

Peraturan tersebut menyebut bahwa penentuan baku mutu udara ambien untuk PM 2,5 dalam pengukuran 24 jam yaitu 55 mikrogram per meter kubik. Sementara untuk rata-rata per tahun yakni 15 mikrogram per meter kubik.

Padahal, WHO telah menetapkan standar baku mutu udara untuk PM 2,5 dalam pengukuran 24 jam yaitu memiliki batas 15 mikrogram per meter kubik. Sementara untuk standar waktu pengukuran PM 2,5 per tahun yaitu 5 mikrogram per meter kubik.

Tak kalah penting, sambung Novita yakni langkah memberikan edukasi pada masyarakat bahwa pencemaran udara tak hanya berasal dari polusi seperti transportasi dan industri. Akan tetapi juga berasal dari indoor polutan, seperti dari proses memasak menggunakan tungku hingga pembakaran sampah.

Komunitas Bicara Udara juga menekankan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya sektor rumah tangga agar melakukan pemilahan sampah terlebih dahulu sebelum mengelolanya. Misalnya khusus untuk sampah organik masyarakat lakukan upaya pengomposan. Sedangkan sampah anorganik masyarakat berikan pada bank sampah untuk dikelola lebih lanjut.

Sampah Hasilkan Gas Metana

Sementara itu, Direktur Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sinta Saptarina mengatakan, langkah kecil berupa memilah sampah ke bank sampah dan memproses sampah organik menjadi kompos dapat berkontribusi besar mengurangi gas metana.

Timbulan sampah yang membusuk akan menghasilkan gas metana. Jumlah gas metana itu bisa sangat besar di tempat pemrosesan akhir sampah terbuka. Tak hanya itu, pengelolaan sampah yang salah juga menghasilkan gas metana. Seperti pembakaran secara terbuka hingga pembuangan sampah secara sembarangan.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top