Bermasalah, Masyarakat Adat Kalimantan Selatan Akan Ambil Kembali Tanah Adat

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: ist.

Jakarta (Greeners) – Masyarakat adat dari Desa Cantung Kiri Hilir dan Desa Banua Lawas, Kalimantan Selatan, mendeklarasikan kesepakatan untuk mengambil alih tanah adat dan tanah masyarakat yang selama ini digarap oleh PT Jaya Mandiri Sukses (JMS). Deklarasi tersebut dilakukan di Balai Adat Batu Lasung, Desa Cantung Kiri Hilir, Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Melalui keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menerangkan bahwa mekanisme dan tata cara penarikan kembali tanah adat akan dilakukan secepat mungkin sesuai dengan keinginan masyarakat di kedua desa tersebut.

Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Selatan, Yasir Al Fatah, mengatakan, ada beberapa alasan bagi masyarakat adat untuk mengambil alih tanah-tanah yang digarap oleh PT JMS tersebut. Antara lain, pertama, tidak ada proses yang baik dalam pengambilan tanah adat milik masyarakat yang digusur oleh PT JMS. Kedua, tidak ada kejelasan ganti rugi lahan yang digusur oleh pihak perusahaan. Lalu, ketiga, adanya beberapa pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap jumlah lahan plasma masyarakat yang selama ini dijanjikan oleh perusahaan.

“Keempat, masyarakat juga menilai ada kejanggalan dalam perizinan PT JMS terkait dengan Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha perusahaan yang masih belum memiliki kejelasan. Selain itu juga di beberapa lokasi penanaman sawit yang dilakukan oleh perusahaan ternyata masuk ke dalam kawasan hutan yang belum dialihfungsikan,” terang Yasir, Jakarta, Senin (05/01).

Saat ini, lanjutnya, pihak perusahaan telah membuka lahan seluas 2.504 hektare dari total luasan izin yang mencapai 6.700 hektare. Namun, pihak perusahaan hanya memberikan lahan plasma seluas 210 hektare atau kurang dari 20 persen dari total luasan lahan yang saat ini ditanami.

Padahal, di dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2007 dan SK Ditjenbun Kementan No.03/Kpts/Rc.110/1/07 dan beberapa perjanjian lainnya, pihak perusahaan menjanjikan lahan petani plasma sekurang-kurangnya 20 persen dari total luasan lahan yang ditanami.

“Dalam konteks ini pemerintah harusnya dapat melakukan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Jika tidak, maka wajar masyarakat mendapatkan kembali haknya yang telah diambil oleh pihak-pihak lain dengan cara-cara adat juga,” jelasnya.

Sementara itu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan mencatat dalam kurun waktu 2008 hingga 2014, terdapat 26 kasus perkebunan sawit yang menimbulkan konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Dwitho Frasetiandy, berpendapat sudah seharusnya pemerintah daerah melakukan penyelesaian akar permasalahan agraria yang terjadi dengan membentuk kelembagaan penanganan konflik agraria di tingkat kabupaten dan provinsi sehingga permasalahan konflik agraria tidak semakin meluas.

“Badan atau lembaga ini perlu. AMAN dan Walhi sudah lama mengusulkan. Pemerintah daerah juga harus lebih memerhatikan permasalahan agraria yang menimpa masyarakat adat,” katanya.

(G09)

Top