BRG Mendukung Rencana Pemerintah Cetak Sawah Baru

Reading time: 2 menit
Sawah Baru
Ilustrasi pencetakan sawah baru di lahan gambut. Foto: www.pexels.com

Jakarta (Greeners) – Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan Kementerian Pertanian dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara untuk mencetak sawah baru di lahan gambut sebagai antisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai lembaga yang menangani gambut mendukung rencana ini. Namun, masyarakat sipil terus mendesak pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu dan menyarankan agar memanfaatkan lahan sawah yang terlantar.

BRG menyebut 60 ribu hektare lahan gambut yang terbengkalai bisa dijadikan lahan sawah baru. Menurut Kepala BRG Nazir Foead, lahan gambut yang sudah tidak produktif, terbuka, dan telah dikeringkan berpotensi menjadi lahan sawah. Lahan tersebut, kata dia, selanjutnya dapat dikelola oleh masyarakat.

Baca juga: Terumbu Karang Terancam oleh Sampah Medis Akibat Covid-19

“Kita memiliki solusi untuk ketahanan pangan, yakni lahan gambut tipis dengan kedalaman 0 sampai 1 meter. Ini bisa diupayakan dan dijadikan lahan pertanian intensif salah satunya sawah,” ujarnya saat diskusi daring “Pro Kontra Cetak Sawah Lahan Gambut”, pada Jumat, (08/05/2020).

Menurut data BRG, terdapat lebih dari 100 ribu hektare lahan gambut yang saat ini diperuntukan untuk sawah. Lahan itu di antaranya tersebar di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, maupun Kalimantan dan dikelola oleh petani lokal serta transmigran.

“Saya optimistis program yang didorong pemerintah merupakan salah satu jalan keluar ketahanan pangan kita. Kementan melaporkan bahwa sawah yang dioptimalkan tidak saja di lahan gambut, tapi juga sawah-sawah lain di Jawa maupun Sumatera non gambut,” ucapnya.

Nazir Foead

Kepala Badan Restorasi Gambut, Nazir Foead, saat diskusi daring “Pro Kontra Cetak Sawah Lahan Gambut”, Jumat, (08/05/2020). Foto: Diskusi via Aplikasi Zoom oleh Fian Indonesia

Nazir mengatakan, upaya mencetak sawah di lahan gambut juga telah dicoba pada lahan seluas 80 hektare bersama petani di Kalimantan Tengah. Ia mengklaim upaya tersebut telah berhasil dilakukan meskipun pada awal masa panen hanya didapatkan hasil 3 ton per hektare. “Setelah masa 3-4 kali panen hasil maksimum yang didapatkan bisa mencapai 4 ton per hektare,” kata dia.

Ia memahami bahwa penolakan pembuatan sawah baru di lahan gambut dikhawatirkan hanya akan mengulang kesalahan yang sama pada zaman pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu, presiden Soeharto membuat Program Lahan Gambut (PLG) dan mengalami kegagalan akibat perencanaan yang salah.

“Berbeda dengan saat ini, kita memiliki badan khusus untuk gambut yang banyak pengalaman dengan pemda, LSM, dan akademisi. Bagaimana skema yang lebih baik dan memerhatikan sisi hidrologi ekosistem, baik terhadap sosial dan ekonomi serta berbasis pertanian lokal,” ujarnya.

Baca juga: Sedotan Stainless dan Totebag Tak Lebih Baik dari Plastik Sekali Pakai

Sementara, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, jika terbukti telah terdapat lahan gambut yang dijadikan sawah dan merupakan budaya setempat, harus diberdayakan dan diperkuat. Namun, hal tersebut, kata dia, bukan menjadi alasan untuk membuka lahan gambut sebagai sawah barui. Sebab, faktor keseimbangan ekologis dan ekosistem harus dijaga.

Ia menuturkan, seharusnya krisis pangan akibat pandemi menjadi momentum penyadaran bersama dan peringatan kepada pemerintah karena tak kunjung melakukan reforma agraria yang menjamin kedaulatan pangan.

“Defisit pangan ini harus dalam bingkai menuju kedaulatan pangan. Tidak hanya selama pandemi, tapi pasca pandemi sehingga rencana reforma agraria harusnya dijalankan sepaket dengan pemberdayaannya,” ujarnya.

Penulis: Dewi Purningsih

Top