Buka Data Valid Populasi Orangutan di Indonesia

Reading time: 3 menit
orang utan dan anaknya
Indonesia Pulangkan Sebelas Orang Utan Korban Perdagangan Ilegal. Foto: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Perbedaan dalam dunia penelitian hal yang lumrah. Namun silang pendapat ini harus disanggah dengan data valid. Jangan sampai kerja ilmiah terpasung oleh pencekalan. Termasuk dalam silang pendapat populasi orangutan di Indonesia baru-baru ini.

Belum lama ini santer informasi adanya pencekalan peneliti asing Erik Meijaard dan sejumlah rekannya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tulisannya di sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Jakarta terkait populasi orangutan dinilai mendiskreditkan pemerintah.

Surat edaran pencekalan tersebut tertuang dalam surat Nomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KHSS/KSA.2/9/2022 yang ditembuskan kepada seluruh Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Dalam opininya di surat kabar tersebut, Erik mempertanyakan klaim KLHK terhadap kenaikan populasi tiga spesies orangutan Indonesia. Spesies itu antara lain Pongo abelii, Pongo pygmaeus, serta Pongo tapanuliensis yang terus bertambah.

Padahal, mengacu penelitiannya, populasi satwa tersebut telah berkurang. Spesies orangutan Kalimantan turun dari 27.000 ekor pada tahun 2016 dan menjadi 23.000 ekor saat ini.

Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya

Mama Laila (14 tahun) dan Lili (4 tahun), dua individu orangutan ini berada di kandang sesaat sebelum di lepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Kalimantan Barat. Foto: Yayasan Kehati

Orangutan Indonesia Miliki Daya Survival Tinggi

Menanggapi hal tersebut ahli primata dari Universitas Indonesia Jatna Supriatna menilai perbedaan data merupakan hal wajar mengingat metodologinya juga berbeda. Transparansi metodologi pengambilan data wajib peneliti lakukan agar tidak asal klaim kebenaran masing-masing.

“Kalau metodenya tidak sama pasti hasilnya tidak bisa apple to apple,” katanya kepada Greeners, Sabtu (1/10).

Jatna menyebut, dalam kasus penelitian Erik turunnya tingkat populasi orangutan berbanding lurus dengan maraknya kerusakan habitat di hutan. Dalam hal ini, ia tak menampik adanya kerusakan hutan di Indonesia. Akan tetapi, orangutan memiliki daya survival yang tinggi sehingga bisa jadi tak memengaruhi jumlah populasinya.

“Seharusnya disebut bahwa habitatnya rusak, bukan turunnya populasi. Karena mereka bisa beradaptasi di hutan yang rusak, bahkan mereka bisa hidup di tambang,” ucap Jatna.

Lebih jauh, pencekalan merupakan hal biasa yang bisa terjadi. Tak hanya di Indonesia tapi di negara manapun jika mendiskreditkan pemerintah setempat. Ia mengkhawatirkan Erik memiliki tujuan-tujuan politis sehingga menyerang pemerintah Indonesia.

Ia mendorong Erik jika ingin berdebat seharusnya melalui forum resmi bersama dengan para peneliti lain yang lebih relevan. “Jangan debat di koran, tapi di forum konferensi internasional atau international paper. Itu lebih tepat,” tandasnya.

pusat penelitian orangutan

Foto: KLHK

Sampaikan Data Penelitian ke Wali Data

Sekretaris Eksekutif Forum Orangutan Indonesia (FORINA) Ronna Saab menyatakan, dukungannya terhadap semangat optimisme pemerintah dalam kegiatan konservasi orangutan. Termasuk dalam penelitian, pengelolaan data dan publikasi.

“Penelitian yang orang asing lakukan terkait orangutan memang harus mendapatkan izin dari KLHK dan instansi terkait,” imbuhnya.

Selain itu, ia mengungkap bahwa data terkait orangutan melalui kerja sama dan penelitian wajib diserahkan kepada KLHK. Seperti melalui melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) maupun Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies Genetik (KKHSG) sebagai wali data.

Berdasarkan hasil PHVA 2016, saat ini perkiraannya terdapat 71.820 individu orangutan yang tersisa di Pulau Sumatra dan Borneo (Kalimatan, Sabah dan Serawak). Habitatnya seluas 18,16 juta hektare. Populasi tersebut tersebar ke dalam 52 meta populasi dan hanya 38 % di antaranya akan lestari (viable) dalam 100-500 tahun ke depan.

Saat ini para penggiat konservasi dan peneliti Indonesia sedang mempersiapkan Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) 2024. Tujuannya untuk mendapatkan data dan informasi terkini status orangutan di Indonesia. 

Terkait masalah yang sedang terjadi, FORINA menyebut tidak punya kapasitas merespon surat edaran KLHK tersebut. FORINA menilai hal itu ranah dan kewenangan KLHK.

Sementara itu, hingga berita ini diterbitkan, pihak KLHK belum merespon ataupun memberikan tanggapan.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top