Greenpeace Desak Transisi Energi Negara G20

Reading time: 3 menit
Pembangkit yang masih mengandalkan batu bara hanya akan terus menyumbang emisi karbon. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali di bawah Presidensi Indonesia merupakan kesempatan bagi negara-negara emiter terbesar mendorong percepatan transisi energi berkeadilan secara konkret.

Greenpeace mendesak agar transisi energi yang akan Indonesia dan negara G20 lakukan harus bebas dari solusi palsu. Seperti halnya co-firing dan clean coal technology yang akan memperlambat transisi energi.

“Proses dan mekanisme peralihan ini juga harus melibatkan partisipasi publik. Memegang prinsip demokrasi, serta berkeadilan. G20 harus menjadi solusi untuk akselerasi transisi energi, misalnya melalui platform pembiayaan,” kata Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Indonesia Tata Mustasya dalam keterangannya, Selasa (15/11).

Ia menekankan upaya pembiayaan transisi energi yang memadai untuk memensiunkan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan pengembangan energi terbarukan.

Jika elemen-elemen tersebut hilang, maka pengadaan energi terbarukan justru tak ada ubahnya dengan energi fosil yang selama ini segelintir elite kuasai.

Tata mengungkap, beragam bentuk pembatasan dan intimidasi terhadap partisipasi publik dalam KTT G20 tidak hanya melemahkan nilai-nilai dan implementasi demokrasi di Indonesia, tetapi juga bertentangan dengan semangat transisi energi berkeadilan.

“Tidak ada transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan tanpa demokrasi,” lanjutnya.

Transisi Energi Setengah Hati

Greenpeace juga menilai sebagai pemegang presidensi G20, transisi energi di dalam negeri justru masih setengah hati. Padahal, Indonesia harus bertanggung jawab mempercepat transisi energi untuk mencegah dampak krisis iklim yang telah terlalu besar.

“Kita harus mempercepat transisi tersebut untuk mencegah dampak krisis iklim yang sudah terlalu besar bagi lingkungan, manusia, dan kesejahteraan. G20 memiliki tanggung jawab untuk itu,” ungkapnya.

Berdasarkan Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL), Indonesia masih akan menggunakan batu bara, paralel dengan phase out atau fase keluar secara bertahap hingga tahun 2056 mendatang. Sementara pembangunan PLTU baru sebesar 13.8 GW (sekitar 42 persen dari kapasitas PLTU terpasang) masih akan terus berlangsung.

Kebijakan pembangunan PLTU tersebut kontradiktif dengan kebutuhan akselerasi transisi energi untuk menghentikan krisis iklim dengan mencegah kenaikan suhu global melampaui 1,5 derajat Celcius.

Pemerintah Indonesia pun berencana memensiunkan dini 9.2 GW PLTU batu bara dengan bantuan internasional pada tahun 2029. Sebanyak 3.7 GW bakal berganti dengan pembangkit listrik terbarukan.

Tata menyebut, Panel Ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) menegaskan dunia harus menutup setidaknya 80 persen PLTU batu bara pada tahun 2030. Kemudian meninggalkan batu bara secara total pada tahun 2040 apabila tak ingin terjebak krisis iklim.

Presiden Joko Widodo bersama sejumlah kepala negara di sela-sela G20 di Bali. Foto: IG Jokowi

Ajak Negara G20 Lakukan Aksi Nyata

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam puncak pembukaan G20 di Bali mengatakan, dunia tengah menghadapi berbagai tantangan mulai dari pandemi Covid-19 yang belum usai. Selain itu juga rivalitas yang terus menajam hingga perang. Dampaknya sangat terasa, terutama bagi negara berkembang termasuk sektor energi.

“Dampak berbagai krisis tersebut terhadap ketahanan pangan, energi, dan keuangan sangat dirasakan dunia terutama negara berkembang,” katanya.

Indonesia menerima tongkat estafet presidensi G20 dari Italia pada Oktober 2021. Dalam kesempatan ini, Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” untuk mengajak dunia saling mendukung pulih bersama dan tumbuh lebih kuat.

Adapun fokus utama KTT G20 di Bali yakni untuk membantu pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 melanda dunia.

G20 merupakan forum kerja sama multilateral yang terdiri dari negara-negara besar di dunia. Sebanyak 17 kepala negara menghadiri pertemuan puncak KTT G20 yang berlangsung 15-16 November 2022 itu.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menekankan G20 harus berhasil menghasilkan sesuatu yang konkret bagi dunia.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top