Upaya Memensiunkan PLTU Batu Bara Belum Ambisius

Reading time: 2 menit
Kondisi salah satu PLTU di Pulau Jawa. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai komitmen pemerintah Indonesia dalam memensiunkan PLTU Batu bara masih belum ambisius. Komitmen memensiunkan pembangkit listrik ini harus dilakukan agar pengembangan energi terbarukan tak terhambat.

Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Aturan ini merupakan langkah positif untuk mendorong transisi sistem ketenagalistrikan yang bersih, rendah karbon, dan ramah lingkungan.

Selain berfungsi mendorong PLN untuk menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang memperhatikan target bauran energi terbarukan, Perpres tersebut juga mendorong pengutamaan pembelian tenaga listrik dari sumber-sumber terbarukan.

Namun, Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring mengatakan, komitmen memensiunkan PLTU Batu bara dalam Perpres tersebut masih belum ambisius mengingat kondisi ketenagalistrikan beberapa waktu belakangan.

“Apalagi beberapa grid, utamanya Pulau Jawa sudah over supply. Sehingga tanpa ada pemensiunan pembangkit-pembangkit fosil, maka pengembangan energi terbarukan berpotensi terhambat,” katanya dalam keterangannya baru-baru ini.

Celah Membangun PLTU Baru

ICEL juga mengkritisi beberapa hal dalam Perpres tersebut. Pertama, Perpres No 112 Tahun 2022 tetap mengizinkan pembangunan PLTU baru. PLTU yang masih dapat izin berdiri adalah pembangkit listrik yang sudah RUPTL tetapkan sebelum berlakunya peraturan tersebut.

Tak hanya itu, PLTU yang terintegrasi dengan industri dalam proyek strategis nasional juga boleh dibangun. Syaratnya melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan beroperasi maksimal sampai tahun 2050.

“Berdasarkan RUPTL PLN 2021-2030 saja masih terdapat 37 PLTU baru. Itu baru dari RUPTL PLN, belum menghitung PLTU di wilayah usaha lain yang datanya sulit untuk publik akses,” ucapnya.

Selain itu, beberapa dari PLTU ini juga terbukti gagal mendapatkan pendanaan, dan tidak kunjung terbangun. Kami menilai Perpres No 112 Tahun 2022 sepatutnya menjadi momentum juga untuk meninjau kembali seluruh RUPTL wilayah usaha selain PLN.

Penggantian pembangkit yang masa beroperasinya berakhir pun pun tidak tegas. Hanya ada dalih yang menyebut akan ada penggantinya pembangkit energi terbarukan.

Kejelasan Pertanggung Jawaban Lingkungan

Deputi Direktur ICEL Grita Anindarini menyatakan, pertanggung jawaban lingkungan hidup juga tetap perlu publik tanyakan.

“Jangan sampai penutupan PLTU ini menghilangkan pertanggungjawaban pemilik pembangkit. Hingga saat ini, cukup banyak PLTU yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang tidak hanya berdampak besar bagi lingkungan, namun juga merugikan masyarakat,” imbuh Grita.

Oleh karena itu, tanggung jawab untuk memulihkan maupun penyelesaian konflik tentu perlu tuntas sebelum memensiunkan PLTU. Terakhir, ia berharap agar percepatan pembangunan energi terbarukan tidak mengesampingkan jaring pengaman lingkungan dan HAM.

“Praktik pembangunan pembangkit listrik yang menjadi proyek strategis nasional banyak menimbulkan konflik. Perlu evaluasi untuk pembangunan energi bersih ke depannya,” tandasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top