Intervensi Perubahan Perilaku Untuk Menekan Permintaan Satwa Liar Ilegal

Reading time: 2 menit
Foto : Pixabay.com

Kuala Lumpur (Greeners) – Berbagai peneliti dari Indonesia, London, dan Portugal, membahas cara dan pendekatan kepada publik yang baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam perdagangan satwa liar ilegal dengan strategi intervensi perubahan perilaku.

Pembahasan tersebut merupakan bagian dari sesi simposium Reducing Demand For Illegal Wildlife Products Through Evidence-Based Behavior Change Interventions dalam rangkaian ICCB 2019 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Indonesia sebagai negara pemilik keanekaragaman hayati kedua terbesar di dunia menghadapi ancaman paling besar terhadap perdagangan satwa liar ilegal.

Peneliti dari Wildlife Conservation Society (WCS), Nuruliawati, mengatakan bahwa 140 hingga 154 juta dari masyarakat Indonesia memelihara satwa jenis burung kicau.

BACA JUGA : KLHK: Populasi Satwa Liar Prioritas di Indonesia Meningkat

Angka tersebut didapatkan Nurulia, berdasarkan dari hasil survey yang dilakukannya menggunakan pesan teks atau SMS yang dikirim ke 340 ribu nomor pengguna Telkomsel di seluruh Indonesia.

Metodologi pesan teks tersebut diakui Nurulia sebagai metodologi yang cukup efektif untuk mengetahui persebaran dan permintaan dari Burung Kicau di Indonesia.

“Jadi, dari 340 ribu nomor tersebut, kita menerima jawaban atas survey kita sebanyak 5.700 dan setengahnya yakni 54% menjawab iya, memelihara burung kicau. Dari situ kita coba refleksikan ke data suplai terhadap populasi, ada 140 juta orang memelihara burung kicau dan terlihat memang persebarannya berada di daerah Jawa Barat,” ujar Nurul kepada Greeners usai presentasinya di Kuala Lumpur, Selasa (23/07/2019).

Nuruliawati (WCS) kedua dari kanan berjilbab, Helen O’Neill (ZSL) ujung paling kiri. Foto : www.greeners.co/Dewi Purningsih.

Dari hasil survey tersebut, teridentifikasi 38 jenis spesies jenis burung kicau, dan 14 spesies diantaranya merupakan jenis spesies dilindungi. Oleh karenanya, WCS mencoba melakukan pendekatan kepada para pelaku pemelihara burung kicau ini untuk diberikan edukasi.

“Aktornya sudah dipetakan, dari sini kami akan bimbing supaya mereka lebih sustain. Kita gak mau sending someone to jail, jadi kita gak pake law enforcement, itu tugasnya sudah di pemerintah. Kita lebih bangun kemitraan bersama aktor ini supaya menjadi birder yang legal dan sustain,” jelas Nurulia.

Pendekatan kepada para pelaku juga dilakukan oleh Dr Helen O’Neill dari Zoological Society of London, ia mengatakan bahwa untuk menurunkan permintaan pada satwa dilindungi Trenggiling, dilakukan Focus Group Disscussion (FGD) dengan para konsumen produk trenggiling.

BACA JUGA : Analisis DNA Jadi Upaya Baru Penegakan Hukum dan Perlindungan Satwa Liar

Dari FGD tersebut, diketahui hasilnya bahwa penggunaan sisik trenggiling kebanyakan adalah untuk tujuan pengobatan. “Kami mencoba untuk melakukan pendekatan dan mengedukasi secara langsung dengan orang-orang yang telah mengonsumsi produk trenggiling dalam 12 bulan terakhir. Hal ini supaya ada perubahan perilaku secara langsung,” ujar Helen.

Menurut Helen, saat ini Trenggiling banyak diekspor ke negara China untuk obat dan kesehatan. Berdasarkan survey yang dilakukan ada 16.000 trenggiling yang dikirim ke China dalam rute perdagangan dari berbagai negara salah satunya Indonesia. (tahun survey: Juli 2000 – Juli 2016).

Sebagai informasi, ICCB 2019 adalah kongres yang mendatangkan peserta dari berbagai penjuru dunia untuk mempertemukan akademisi, peneliti, praktisi, hingga perwakilan lembaga pemerintah yang berkecimpung di bidang konservasi biologi dan lingkungan. Dilaksanakan pada tanggal 21-25 Juli di Kuala Lumpur Convention Centre, Malaysia.

Penulis: Dewi Purningsih

Top