Jakarta Belum Siap Terapkan Konsep Transportasi Ramah Lingkungan

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Kota DKI Jakarta dianggap masih belum siap menerapkan Environmentally Sustainable Transport (EST) atau transportasi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Belum siapnya Jakarta menerapkan EST ini, dikatakan oleh Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Syafrudin, bisa dilihat dari beberapa indikator.

Pertama, katanya, jalan raya sebagai prasarana kendaraan berbasis jalan raya masih tidak memadai. Kualitas buruk dan masih banyak jalan yang berlubang serta banyaknya penyempitan jalan menyebabkan pola “bottle neck” di jalan raya yang mengakibatkan kemacetan dan kendaraan tidak bergerak.

“Posisi kendaraan yang tidak bergerak dan mesin yang tetap hidup ini membakar Bahan Bakar Minyak (BBM) tanpa menghasilkan pergerakan dan semakin meningkatkan emisi (baik emisi pencemaran udara maupun emisi rumah kaca),” katanya kepada Greeners, Jakarta, Jumat (29/04).

Selain itu, jalur rel kereta api sebagai prasarana kendaraan berbasis rel (kereta) juga masih belum berkembang secara massif dan holistik yang memfasiitasi seluruh wilayah kota Jakarta dan sekitarnya. Padahal, kereta adalah pilihan transportasi massal yang sangat efisien baik dalam hal energi, pemakaian ruang maupun rendahnya emisi per kapita dibandingkan moda transportasi yang lain.

Infrastruktur penunjang kendaraan berbasis rel yaitu pintu portal rel kereta api dan persinyalan yang tidak diperbaharui dengan teknologi yang lebih modern juga menjadi faktor penghambat pergerakan kereta.

“Buruknya pengelolaan armada transportasi massal seperti Bus Rapid Transit (BRT) Trans Jakarta yang tidak dikelola secara profesional dan efisien juga membuat penumpang enggan memanfaatkannya karena waktu tunggu, jadwal dan kenyamanan yang kurang terjamin,” tambah pria yang akrab disapa Puput ini.

Fasilitas NMT (non motorized transport) sebagai penunjang transportasi ramah lingkungan dan berkelanjutan seperti pejalan kaki, becak dan sepeda juga hanya dibuat ala kadarnya dan tidak dirancang dengan sungguh-sungguh sehingga dan mudah untuk diakses.

Hanya enam persen jalan raya di DKI Jakarta yang dilengkapi trotoar (atau hanya sekitar 400 KM dari total sekitar 7000 KM ruas jalan di DKI Jakarta). Dari 400 KM ruas jalan raya ini, tutur Ahmad, 80 persen atau sekitar 320 KM diokupasi untuk peruntukan lain seperti pedagang kaki lima, lahan parkir, Pos Polisi. Lebih dari itu, ruas jalan juga banyak diserobot oleh pengguna sepeda motor, pot bunga, etalase toko, tambal ban, tiang listrik dan lainnya.

“Jalur khusus sepeda pun masih sebatas hiasan. Bisa dilihat di Jalan Diponegoro dan Taman Ayodya di Jalan Melawai. Parahnya, tidak ada penegakkan hukum atas penyerobotan oleh kendaraan bermotor itu,” tegasnya lagi.

TOD atau Transit Oriented Development yang seharusnya bisa membantu para pengguna jalan raya dan transportasi umum masih bleum dikembangkan dengan baik. Padahal, dengan mengitegrasikan inter-moda KRL, BRT, bus kota dan lainnya memungkinkan pergerakan orang semakin cepat karena bisa berganti-ganti moda transportasi dengan transit di tempat tertentu untuk selanjutnya menggunakan moda transportasi lain sesuai arah tujuan akhir perjalanan.

“Terakhir, infrastruktur clean energy yang dalam hal ini clean fuel (Bahan Bakar Bersih) baik itu BBM dengan kualitas tinggi, biofuel maupun BBG (CNG dan LGV) bisa kita lihat masih belum memadai dengan total populasi kendaraan bermotor,” ujarnya.

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisaksi Nirwono Joga menambahkan, jika memang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serius membangun konsep transportasi ramah lingkungan dan berkelanjutan, maka Pemerintah Provinsi seharusnya sudah mulai membangun infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang lebih strategis dan mewajibkan seluruh angkutan umum menggunakan bahan bakar gas.

Nantinya, jika transportasi umum sudah mulai beralih ke bahan bakar gas, maka penerapan aturan dan sosialisasi untuk kendaraan pribadi pun akan lebih mudah untuk dilakukan.

“Selain jenis transportasinya, pengembangan trotoar yang lebih ramah pada pejalan kaki dan infrastruktur jalur sepeda ke semua penjuru kota juga harus ditingkatkan karena infrastruktur EST adalah syarat bagi smart transportation sebuah kota,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top