Pakar Anjurkan Kaum Urban Klaim Kembali Ruang Hidup dengan Ekonomi Ekologi

Reading time: 2 menit
Kaum Urban, Klaim Kembali Ruang Hidup dengan Ekonomi Ekologi
Dosen Universitas Indonesia mengajak masyrakat urban untuk mengklaim kembali ruang hidup dengan menerapkan ekonomi ekologi. Ilustrasi: Shutterstock.

Jakarta (Greeners) – Dosen Universitas Indonesia yang juga pemerhati lingkungan, Dr. Saraswati Putri yang juga akrab dengan nama Saras Dewi, menilai penerapan model ekonomi ekologi sangat urgen. Terutama dalam menjaga kerbelanjutan lingkungan hidup. Hal ini dia utarakan mengingat kegiatan ekonomi dewasa kini yang cenderung berorientasi keuntungan segelintir pihak tanpa mementingkan dampak keberlanjutan dari ekosistem alam.

Untuk itu, Dr. Saras menilai pemerintah Indonesia sebagai pemangku kebijakan mesti melahirkan kebijakan publik untuk mendorong perekonomian yang berorientasi terhadap lingkungan hidup. Dia juga menekankan pentingnya dukungan dari pihak swasta, masyarakat, dan akademisi untuk membangun kebijakan yang lebih selaras. Terlebih, lanjut Dr. Saras, dalam dua dekade terakhir banyak dorongan dari berbagai pihak untuk memahami ekonomi dari perspektif berbeda.

“Ekonomi saat ini mensegregasi kehidupan sebagai suatu objek yang dieksploitasi. Ekonomi yang berlangsung sampai detik ini menunjukan justru kebencanaan yang terjadi maupun krisis iklim jadi pengabaian kita,” ujar Dr. Saras dalam webinar rangkaian Climate Diplomacy Week 2020 bertema Masa Depan Alam Untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia, Senin (2/11/2020).

Masyarakat Adat sebagai Teladan Ekonomi Ekologi Kaum Urban

Lebih jauh, Dr. Saras mengapresiasi masyarakat adat yang menjadi motor ekonomi ekologi. Dia menilai, kehidupan masyarakat adat menjadi semacam narasi tandingan terhadap proses pembangunan bagi masyarakat urban di perkotaan. Di luar berbagai permasalahan masyarakat adat, lanjut dia, mereka memiliki potensi sumber daya alam yang bisa menjadi teladan. Misalnya, kemampuan masyarakat adat mengintegrasikan aktivitas ekonomi, spiritual, dan budaya.

Dr. Saras pun tidak menafikan adanya perbedaan geografis wilayah masyarakat urban dan masyarakat adat. Terutama dalam aspek fondasi sosial. Meski begitu, hal tersebut bukan halangan untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan kondisi lingkungan hidup. Terlebih jika mengingat pola pembangunan masyarakat urban yang identik dengan konsep megapolitan, Konsep ini, lanjut Dr. Saras, sangat berisiko terhadap lingkungan hidup sebab membutuhkan dukungan energi yang besar dan ketersediaan lahan yang luas.

“Tidakkah masyarakat perkotaan punya kesempatan hidup atau orientasi keberlanjutan? Pembangunan kota-kota besar dikritisi atau megapolitan butuh daya dukung besar dan sumber daya energi besar. Ini selain boros menyerap energi dan lahan di sekeliling kota yang sarat akan konflik,” tegasnya.

Konsep megapolitan, menurut Dr. Saras, perlu berubah menjadi munisipalitas seperti kampung kota. Di dalamnya terdapat ruang kultural bersama yang inklusif, partisipatif, kolaboratif, dan lintas disiplin yang mengarah ke kampung peduli lingkungan. Berbagai aktivitas seperti menerapkan energi terbarukan dan pengelolaan limbah bisa optimal dalam konsep tersebut. Menurutnya, proses ini juga merupakan bentuk dari mengambil kembali ruang hidup masyarakat urban yang terpinggirkan dengan adanya pembangunan.

“Wilayah urban jadi ramah lingkungan hidup. (Saat ini) kita melihat pembangunan justru menyingkirkan wilayah masyarakat hidup perkampungan. Mereka awalnya terpuruk dari adanya pembangunan dan ini adalah upaya yang disebut reclaiming atau mengambil kembali ruang hidup dengan kekuatan kolektif,” ajak Dr. Saras.

Baca juga: Riset: Restoran Cepat Saji Internasional Konsisten Siksa Ayam di Indonesia

Waktunya Milenial Berkontribusi Terhadap Lingkungan Hidup

Dalam acara yang sama, Digital Media Specialis Yayasan Madani Berkelanjutan, Delly Ferdian mengatakan pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan lingkungan hidup sebagai upaya yang seharusnya sangat efektif. Pasalnya, selain mampu menyelesaikan dampak pembangunan bagi lingkungan, konsep tersebut juga bisa jadi solusi atas dampak krisis ekonomi dari adanya pandemi Covid-19. Menurutnya, dalam konteks ekonomi hijau sebagai bagian pembangunan berkelanjutan, semakin baik kualitas lingkungan, pertumbuhan ekonomi bisa semakin berkualitas.

Delly menambahkan generasi milenial sebagai pihak yang harus bersumbangih terhadap penerapan kegiatan ekonomi hijau. Salah satu aktivitas yang bisa milenial lakukan yaitu mendorong pertumbuhan perusahaan rintisan berbasis lingkungan. Selain itu, generasi milenial juga bisa menumbuhkan tren di masyarakat melalui kampanye masif di media sosial.

“Hal-hal tersebut bisa didorong dalam payung konsep ekonomi hijau dari milenial. Sulit juga kalau tidak ada kontribusi terhadap lingkungan dari milenial,” tuturnya.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top