Jakarta (Greeners) – Kabupaten Minahasa Utara di Sulawesi Utara berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 27,70 %. Hal itu berdasarkan analisis oleh pemerintah daerah setempat dengan menyesuaikan kondisi Business as Usual (BaU).
Dari kontribusi tiap sektor, potensi penurunan emisi GRK terbesar di Minahasa Utara terdapat di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya yang mencapai 125.265 ton CO2e atau mencakup 18,75% terhadap BaU tahun 2030. Sementara, pada sektor energi sebesar 46.313 ton CO2e (6,93%), sektor pertanian 7.749 ton CO2e (1,15%), dan sektor limbah sebesar 5.711 ton CO2e.
Sementara itu, total emisi GRK menurun dari 152.728 ton CO2eq pada 2010 menjadi 54.210 ton CO2eq pada 2020. Sebab, ada serapan 220.413 ton CO2eq dari sektor kehutanan.
BACA JUGA: Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Mulai Diimplementasikan
Bupati Minahasa Utara, Joune J.E. Ganda mengatakan, Minahasa telah mengalami penurunan gas rumah kaca dari tahun 2020.
“Pada tahun 2020 kami mampu menekan emisi yang cukup signifikan. Kontribusi tersebut berasal dari hutan, di mana kami sudah mulai menjaga hutan dengan urbanisasi,” ungkap Ganda di acara GCoM National Workshop in Indonesia, Rabu (30/8).
Ganda menambahkan, penebangan hutan menjadi penyebab utama dalam peningkatan emisi terjadi di Minahasa Utara. Namun, pada tahun 2020, pemerintah daerah setempat terus melakukan perbaikan sehingga bisa membantu untuk menyerap emisi.
Ancaman Perubahan Iklim di Minahasa Utara
Di penghujung tahun 2021, Kabupaten Minahasa Utara bergabung dengan ribuan kota dan pemerintah daerah di seluruh dunia yang peduli dengan perubahan iklim. Global Covenant of Mayors (GCoM) memilih Minahasa Utara menjadi salah satu dari empat kota percontohan di Indonesia. Mereka meminta Minahasa Utara untuk merumuskan mitigasi perubahan iklim serta pengurangan emisi, ketahanan dan adaptasi iklim, dan akses terhadap energi terbarukan.
Hasil proyeksi ancaman perubahan iklim di Minahasa Utara menunjukkan bahwa suhu di sana akan semakin meningkat hingga 2,14 derajat Celcius pada tahun 2030.
“Untuk wilayah Minahasa Utara kami melihat ada ancaman perubahan iklim, di mana hasil proyeksi di Minahasa utara tahun 2030 maka suhu akan naik. Kemudian, hujan cenderung akan menurun hingga 17,7 % dibanding saat ini,” ungkap Ganda.
Pada tahun tertentu, Minahasa Utara juga akan mengalami peningkatan curah hujan. Sehingga, potensi kejadian banjir dan tanah longsor juga masih bisa terjadi. Terutama pada musim penghujan saat curah hujan akan cenderung tinggi.
Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim di Minahasa Utara
Dalam mengatasi sejumlah ancaman perubahan iklim di Minahasa Utara, pemerintah daerah telah menyiapkan rencana aksi mitigasi. Sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya akan melakukan penghijauan serta reboisasi di kawasan hutan lindung maupun daerah aliran sungai.
“Langkah kedua adalah penanaman dan perluasan hutan tanaman mangrove yang dapat berfungsi sebagai kawasan konservasi biota laut endemik. Mitigasi lainnya akan dirancang sebagai destinasi wisata desa pantai yang ramah lingkungan,” lanjut Ganda.
BACA JUGA: Jakarta Kebut Pengurangan Emisi dari Sektor Sampah
Tidak hanya sektor kehutanan, sektor pertanian juga melakukan mitigasi. Misalnya, pemanfaatan kompos dari kotoran hewan atau ternak pada pertanian tanaman pangan, serta penerapan system rice intensification (SRI).
Pentingnya Kolaborasi untuk Mendorong Mitigasi
Menurut Ganda, dalam menjalani berbagai mitigasi perubahan iklim di Minahasa Utara tidak terlepas dari tantangan. Oleh karena itu, kolaborasi menjadi kunci utama yang penting untuk mendorong rencana aksi mitigasi ini.
Apalagi, saat ini Minahasa Utara mengalami bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Oleh sebab itu, pemerintah daerah membutuhkan intervensi secara kolektif, terutama dalam permasalahan hutan.
“Langkah mitigasi ini kita harus kolaboratif. Kita harus bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan pusat. Di pemerintah pusat, misalnya, ada pembangunan jalan tol. Hal ini juga harus dilihat, harus ada kerja sama bagaimana cara mengatasi bencana. Sebab, saat membangun jalan tol, hutan-hutan akan dibabat,” tambah Ganda.
Ganda menambahkan, pembabatan tersebut yang akan menimbulkan sejumlah bencana. Oleh karena itu, Ganda menekankan perlu kolaborasi dengan melibatkan pemerintah daerah dan para stakeholders. Termasuk alokasi anggaran untuk perawatannya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia