Perkuat Hukum Lingkungan Pascalahirnya UU CK

Reading time: 3 menit
Peran dan suara masyarakat harus masuk dalam kebijakan lingkungan. Sejalan dengan itu, hukum lingkungan perlu diperkuat. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners)- Penguatan kelembagaan dalam perlindungan hak lingkungan hidup dan masyarakat harus mendapat penguatan pascalahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK). Oleh sebab itu perlu evaluasi agar aturan dari UU CK ini tidak melemahkan penegakan hukum lingkungan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/puu-xviii/2020 pada 25 November 2021 menyebut bahwa UU CK cacat formil. MK memerintahkan agar pemerintah dan DPR memperbaiki UU CK dalam kurun waktu dua tahun. Segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk penerbitan peraturan pelaksana baru terkait UU CK tak MK perbolehkan.

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo G Sembiring menyatakan, selama tahun 2020, 2021 hingga 2022 tantangan penegakan hukum lingkungan, hak-hak masyarakat dan norma-norma akan tetap dinamis. Ia menyebut pentingnya evaluasi dan telaah keterhubungan antara kebijakan dan penegakkan hukum dalam aturan turunan dan UU CK.

“Kita masih melihat pascaputusan MK arahnya masih pembenahan secara formil terhadap UU CK,” katanya dalam diskusi Environmental Law Outlook 2022: Menata Kembali Hukum Lingkungan Indonesia, Kamis (3/2).

Ketidakjelasan antara kebijakan dan penegakkan hukum, sambung dia tercermin dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 22 Tahun 2021 tentang strict liability atau tanggung jawab mutlak dan secara substansi mereduksi dalil strict liability dalam penegakkan hukum. “Dan saya pikir itu dapat memengaruhi proses penegakkan hukum dan putusan hakim itu sendiri,” ujarnya.

Suara Masyarakat Belum Banyak Jadi Pertimbangan Di Sektor Lingkungan

Raynaldo juga menyebut belum adanya keterbukaan ruang-ruang partisipasi dan informasi yang belum pemerintah penuhi. Khususnya dalam proyek-proyek strategis nasional. Misalnya, pembatasan partisipasi publik dalam Amdal PP No 22 Tahun 2021, masyarakat dan LSM terdampak langsung.

Ketentuan ini perkiraannya akan menghilangkan peran signifikan dari organisasi lingkungan hidup. Bahkan kepentingan lingkungan hidup itu sendiri. “Kalau tidak segera direvisi, situasinya tidak akan pernah berubah. Di mana di satu sisi kebijakan terus disusun tanpa mempertimbangkan pendapat masyarakat,” imbuhnya.

Perlindungan partisipasi masyarakat juga perlu terjamin dengan adanya kebijakan Anti-SLAPP. Hal ini guna memastikan tak ada ancaman dan potensi kriminalisasi atau gugatan bagi masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya. Adapun saat ini kebijakan ini masih menunggu komitmen dari berbagai pihak, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) serta kepolisian.

Selain itu, Raynaldo juga menyorot perlunya kolaborasi antar institusi lembaga pemerintah dalam komitmennya menjalankan restorative justice untuk melindungi komunitas dan masyarakat yang terdampak.

Penegakan Hukum Lingkungan Dapat Hambatan

Direktur Penegakan Hukum Pidana, Direktorat Jendral Penegakkan Hukum KLHK Yazid Nurhuda mengatakan, kebakaran hutan dan lahan masih memimpin sebagai kasus tertinggi dalam permasalahan lingkungan hidup dan kehutanan. Yakni sebanyak 299 kasus. Sementara kedua yaitu pencemaran lingkungan, sebanyak 269 kasus, serta berikutnya perambahan kawasan hutan sebanyak 211 kasus.

Ia menyebut, tantangan ketidaksinkronan antara kebijakan dan aturan penegakkan hukum pascapenerbitan UU CK berpotensi menghambat komitmen untuk mengimplementasikan sanksi yang ada.

Misalnya, penerapan sanksi administratif (tanpa pidana) termaktub dalam Pasal 82B ayat 3 UU CK. Ini berlaku bagi pelanggaran yang memiliki persetujuan lingkungan, izin pengelolaan limbah B3, serta izin pembuangan limbah cair atau emisi tapi melakukan pencemaran lingkungan.

“Hal ini bertentangan dengan Pasal 99 (ayat 1) UU RI No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (kelalaian melebihi kriteria baku kerusakan dan /baku mutu (BM) air/air laut, BM udara ambien) maka akan mendapat sanksi pidana,” paparnya.

Tanpa Partisipasi Publik, Akuntabilitas Pemerintah Rendah

Sementara itu Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Hariadi Kartodihardjo mengungkapkan, tren mengabaikan partisipasi publik berimplikasi pada pengabaian akuntabilitas kepada masyarakat. “Bagaimana negara mengelola dan masyarakat berpartisipasi ini belum ada. Sementara, problemnya adalah pemerintah arahnya pertumbuhan investasi,” katanya.

Menurut Hariadi, politik dan mekanisme pasar yang sangat dominan turut memengaruhi politik hukum dan kebijakan yang pemerintah terapkan. “Sehingga ujungnya tidak menyelesaikan terlebih dahulu hak mendasar (lingkungan dan masyarakat). Tapi penyelesaiannya diserahkan mekanisme pasar, SDA hanya sebagai komoditi jangka pendek,” pungkasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Top