KLHK Dorong Perusahaan Perkebunan di Lahan Gambut Menata Pengelolaan Air

Reading time: 2 menit
lahan gambut
Ilustrasii. Foto: sudonoahmad.blogspot.co.id

Jakarta (Greeners) – Perusahaan perkebunan di lahan gambut terus didorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan penataan ulang pengelolaan air di area usahanya. Hal ini merupakan bagian dari implementasi serangkaian kebijakan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. 

“Yang terpenting itu tata kelola airnya. Kalau tata kelola airnya diatur, mau ditanam apapun bisa memenuhi kebutuhan,” ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Karliansyah saat ditemui pada acara Paparan Kinerja dan Implementasi Kebijakan Pemulihan Ekosistem Gambut di Jakarta, Jumat (12/01/2018).

Menurut Karliansyah, dari penerapan kebijakan perlindungan ekosistem gambut pada 80 perusahaan perkebunan, telah terjadi peningkatan tata kelola air pada area perkebunan dengan keseluruhan fungsi ekosistem gambut seluas 652.295,27 hektar. Dari luas area tersebut, 302.534,61 ha merupakan area pemanfaatan fungsi lindung ekosistem gambut dan 349.760,66 ha merupakan area pemanfaatan fungsi budidaya ekosistem gambut.

“Saya merasa senang, tata kelola air dulu sebelum 2016 memang semuanya jauh dibawah 40 persen. Tapi sekarang, dengan perlakuan pemulihan fungsi hidrologis sudah 70 persen dipenuhi,” ujar Karliansyah.

BACA JUGA: Gugatan PT RAPP Ditolak, KLHK Tegaskan Pentingnya PP Gambut

Pada acara yang sama, management representative PT Riau Sakti United Plantation (RSUP) Kamaruddin menyatakan bahwa tata kelola air yang benar pada lahan gambut akan meningkatkan kualitas lahan perkebunan itu sendiri. Perusahaan yang berlokasi di Desa Pulau Burung, Riau, ini mengelola perkebunan kelapa hibrida dengan luas 22.650 ha.

“Di perusahaan kami sudah sadar benar kalau gambut ini di tata kelola airnya harus benar. Kalau tidak benar, gambut ini kan sebagai lahan perkebunan, bisa saja gambutnya tidak bertahan lama dan rawan kerusakan lingkungan,” ujar Kamaruddin.

RSUP, lanjutnya, sudah membuat sistem kanalisasi untuk mencegah air tidak terbuang ke laut. Selain itu, mengubah aliran air dari lahan yang rendah ke lahan yang lebih tinggi menjadi metode terbaru yang diterapkan RSUP.

“Dari metode yang sudah ada dijalankan lebih intensif lagi, dan yang terbaru sekarang ini kita mengubah air di lahan (perkebunan), jadi air dari lahan yang rendah bisa naik ke lahan yang tinggi dengan cara membuat sekat-sekat kanal pada lokasi-lokasi tertentu,” katanya.

BACA JUGA: Perhutanan Sosial di Lahan Gambut Belum Maksimal

Sistem terbaru saat ini yang ditentukan oleh KLHK, lanjutnya, permukaan level air tanah maksimal 40cm. Untuk itu diperlukan peta sebagai dasar untuk menetapkan zona pemulihan atau zona pengelolaan air, yaitu Peta Topografi Lahan, Peta Kedalaman Gambut, Peta Zona Fungsi Budidaya dan Lindung, dan Peta Hidrotopografi.

“Kalau di sistem yang lama belum semua peta kami gunakan. Peta ini kami gunakan untuk menentukan zona pengelolaan. Dari zona pengelolaan itu ditentukan mana zona air yang paling pantas untuk mendapatkan muka air tanah 40 cm dan kita lengkapi zona-zona itu di sistem terbaru,” kata Kamaruddin.

Sebagai informasi, untuk memulihkan ekosistem gambut, KLHK telah menerbitkan serangkaian Peraturan Menteri (Permen) sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Peraturan tersebut yaitu Permen LHK Nomor 14/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penerapan Fungsi Ekosistem Gambut, Permen LHK Nomor 15/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penataan Ekosistem Gambut, Permen LHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, serta Permen LHK Nomor 17/2017 tentang perubahan Permen Nomor 12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.

Penulis: Dewi Purningsih

Top