Sentuh Akar Masalah untuk Tangani Karhutla!

Reading time: 2 menit
Karhutla rentan terjadi di tahun 2023. Foto: BNPB

Jakarta (Greeners) – Ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali mengintai di tahun 2023. Hal ini mengindikasikan penanganan karhutla belum menyentuh akar masalahnya.

Juru kampanye Pantau Gambut Wahyu A Perdana mengatakan, akibat kegagalan ini penanganan karhutla hanya berfokus pada pemadaman api tanpa menyentuh masalah substantif, yaitu kerusakan ekosistem gambut yang memperparah dampak kebakaran.

“Kebijakan perlindungan ekosistem gambut pun direduksi dengan hadirnya UU Cipta Kerja (Peppu) yang justru memberi kelonggaran pada kasus keterlanjuran di kawasan hutan,” kata Wahyu dalam keterangannya.

Menurutnya, Badan Pengawas Keuangan (BPK) menyebut, setidaknya 2,9 juta hektare perkebunan sawit beroperasi di dalam kawasan hutan secara tidak sah.

“Kedua, lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan karhutla terjadi secara berulang di lokasi yang sama,” ucapnya.

Lemahnya Kekuatan Hukum

Selama periode tahun 2015-2019 telah terakumulasi 1,4 juta hektare gambut yang terbakar, 70 % (1,02 juta hektare) terjadi di dalam area konsesi. Lalu 36 % (527,9 hektare) terbakar lebih dari satu kali.

Situasi menjadi semakin kompleks ketika Mahkamah Agung memenangkan Pengajuan Kembali (PK) yang Presiden Jokowi ajukan di tahun 2022 pada gugatan citizen law suit (CLS) karhutla di Kalimantan Tengah yang sebelumnya telah dimenangkan warga pada tahun 2019.

“Jelas ini adalah cerminan melemahnya kekuatan hukum dalam menangani kasus karhutla,” imbuh Wahyu.

Dalam studi Pantau Gambut “Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2023 pada Wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Indonesia” menemukan kawasan gambut rentan terbakar.

Gambut yang terbakar akan melepaskan emisi karbon. Foto: Freepik

Tingkat Kerentanan Karhutla Tinggi

Dari studi dataset tahun 2015-2019, Pantau Gambut menemukan 16,4 juta hektare area gambut di Indonesia rentan terbakar. Adapun area seluas 3,8 juta hektare masuk ke dalam kategori kerentanan tinggi (high risk).

“Sementara, 12,6 juta hektare tergolong ke dalam kerentanan sedang (medium risk),”  ujar Peneliti dan Analis Data Pantau Gambut Almi Ramadhi.

Provinsi Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG rentan terbanyak. Hampir 97 % dari total 1.421 hektare area KHG Sungai Ifuleki Bian– Sungai Dalik berada pada tingkat kerentanan tinggi.

Pantau Gambut juga menemukan wilayah dengan risiko tinggi terluas berada pada Provinsi Kalimantan Tengah. Total luasnya lebih dari 1,13 juta hektare yang tersebar pada 13 KHG.

Ironisnya, KHG Sungai Kahayan–Sungai Sebangau ini di dalam eks-PLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektare pada masa Soeharto. Saat ini, sebagian eks-PLG menjadi bagian dari proyek food estate.

Pantau Gambut juga melakukan analisis titik panas (hotspot) 1.275 hotspot. Indikasi karhutla dalam empat minggu, terhitung sejak bulan Januari hingga Februari 2023. Yang perlu menjadi perhatian adalah 381 titik panas di wilayah high risk dan 520 titik panas di medium risk.

Menurut Almi temuan-temuan di atas mengindikasikan adanya korelasi antara ekosistem gambut, kerentanan karhutla, dan kebakaran berulang. Kondisi ini seharusnya menjadi upaya mengoreksi kebijakan dan mengevaluasi konsesi (khususnya yang beroperasi di atas lahan gambut).

Penulis: Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top