LSM Berharap Hasil Konferensi Asia Afrika Bawa Perbaikan Lingkungan Hidup

Reading time: < 1 menit
Aksi dalam rangka memperingati Hari Bumi yang bertepatan dengan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika pada tanggal 22 April lalu. Foto: greeners.co/Danny Kosasih

Jakarta (Greeners) – Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) Ke-60 telah usai. Ada banyak harapan yang harus segera direalisasikan sesuai dengan rumusan hasil konferensi tersebut, termasuk dengan harapan akan adanya kontribusi perbaikan kondisi lingkungan hidup di negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika.

Kurniawan Sabar, pengkampanye nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyatakan bahwa kondisi lingkungan hidup di Indonesia tidak jauh berbeda seperti halnya negara-negara di Asia Afrika saat ini. Semuanya sama-sama berada dalam kondisi kritis dan memprihatinkan.

Hal ini, katanya, disebabkan oleh pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan yang telah dimonopoli oleh industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan skala besar yang mengeruk kekayaan alam. Ironisnya, keadaan ini menyebabkan kekayaan SDA hanya dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang saja. Hal tersebut membuat rakyat di Asia dan Afrika semakin menderita karena kehilangan akses hidupnya, kerusakan alam, dan bencana ekologis.

“Melalui KAA ke-60 ini kami menegaskan semangat untuk menghentikan ekspansi dan monopoli industri ekstraktif yang semakin meluas, baik itu di Indonesia pada khususnya dan di Asia-Afrika secara keseluruhan,” jelasnya kepada Greeners, Sabtu (25/04).

Longgena Ginting, Ketua Umum Greenpeace Indonesia pun menyatakan bahwa ada harapan yang cukup tinggi pada hasil Konferensi Asia Afrika terhadap perbaikan kondisi lingkungan hidup. Hanya saja, terangnya, Greenpeace Indonesia melihat semangat penyelenggaraan KAA ke-60 tahun ini lebih menitikberatkan kepada pertumbuhan ekonomi semata.

Menurutnya, tidak ada solidaritas yang kuat sebagai sesama negara selatan dalam menghadapi globalisasi atau perubahan iklim di negara-negara peserta KAA. Apalagi, lanjutnya, ada kekhawatiran masuknya agenda-agenda korporasi yang justru mendapat porsi lebih dibandingkan agenda reformasi, solidaritas, kemiskinan dan lingkungan.

“Ini terlihat menjadi sangat pragmatis. Padahal negara Afrika dan Asia adalah benua dengan masalah perubahan iklim yang cukup berat. Seharusnya agenda ini yang bisa menyatukan KAA,” kata Longgena.

Penulis: Danny Kosasih

Top