Maladewa Hadapi Tantangan Pembangunan

Reading time: 2 menit
maladewa
Ilustrasi: wikimedia.org

LONDON, 18 Maret 2017 – Maladewa, yang terbentuk dari 1.200 karang terletak di Lautan Hindia dan negara paling datar di bumi, hanya mencapai tinggi 2,4 meter di atas permukaan air laut.

Naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim telah mengancam masa depan negara tersebut. Ditambah lagi para ilmuwan memperingatkan bahwa mayoritas dari pulau tersebut akan berada di bawah permukaan laut pada akhir abad.

Selain itu, Maladewa yang dikunjungi sejuta wisatawan setiap tahunnya harus menghadapi tantangan lain, yaitu pembangunan besar termasuk resort dan bandara.

Pembangunan 10 miliar dolar tersebut melibatkan penjualan atau penyewaan 19 pulau karang kepada pihak Arab Saudi di Faafu, terletak 120 kilometer dari Male. Perusahaan Arab Saudi akan membiayai dan membangun konstruksi tersebut.

Ekonomi Maladewa

Pemerintah Maladewa mengatakan bahwa skema tersebut vital bagi masa depan ekonomi negara mereka. Namun, pihak oposisi mengatakan bahwa proyek tersebut dapat mengakibatkan kerusakan bagi ekologi negara tersebut.

Populasi Maladewa kurang dari 400.000 jiwa termasuk 100.000 pekerja asing di mana 25 persen berada di ibukota, Male.

Perubahan iklim sudah menjadi ancaman nyata bagi para penghuni pulau. Dengan naiknya permukaan muka air laut, badai yang semakin merusak pantai, dan air laut yang terkontaminasi akan merancuni persediaan air tanah yang ada.

Presiden Abdulla Yameen menyangkal telah menjual atol kepada pihak Arab Saudi meskipun tidak bersedia mempublikasikan proposal yang telah disetujui.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa proyek meliputi pelabuhan laut internasional, pemukiman mewah, resort, serta bandara, dan industri lainnya.

Partai oposisi, Partai Demokratik Maladewa (MDP), yang dipimpin oleh mantan presiden Mohamed Nasheed yang kini tinggal dalam pengasingan di Inggris, gusar dengan rencana tersebut.

“Tidak ada informasi yang diberikan kepada publik terkait dengan proyek tersebut,” kata MDP dalam pernyataannya. “Rencana tersebut memberikan kontrol kepada asing untuk menguasai 26 atol yang dimiliki negara tersebut. Hal tersebut sama saja dengan kolonialisme.”

Nasheed, yang terlempar dari kursi kepresidenan pada tahun 2012 lalu sekaligus dihukum penjara 13 tahun, merupakan advokat yang vokal untuk isu perubahan iklim selama masa berkuasanya. Ia menggalang dukungan komunitas internasional untuk membantu masa depan negaranya.

Untuk mempublikasikan dampak perubahan iklim terhadap negaranya, Nasheed bahkan menggelar rapat kabinet di bawah air.

Sementara itu, Presiden Abdulla Yameen menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan memandang investasi Arab Saudi merupakan kunci kemakmuran bagi Maladewa yang kini dilanda krisis.

“Kami tidak memerlukan rapat kabinet di bawah air,” tegasnya. “Kami butuh pembangunan.”

Terminal Bandara Baru

Maladewa, negara didominasi oleh Islam Sunni, semakin menjalin persahabatan erat dengan Arab Saudi, baik dari sisi religiositas dan ekonomi pada beberapa tahun belakangan.

Arab Saudi telah membangun beberapa mesjid di negara tersebut dan mengabulkan permohonan pinjaman dengan bunga rendah kepada pemerintah Male. Grup Binladin, perusahaan konstruksi terbesar di Arab Saudi sedang membangun terminal bandara baru di Maladewa.

Raja Salman bin Abdul Aziz akan mengunjungi Maladewa dengan membawa 1.500 orang, termasuk 25 pangeran dan 10 menteri, untuk membahas kelanjutan proyek atol tersebut pada bulan ini.

Baru-baru ini, protes yang dilakukan oleh penduduk lokal yang berpotensi direlokasi akibat pembangunan baru tersebut dihentikan oleh polisi.- Climate News Network

Top