1,5 Miliar Anak di Dunia Hirup Udara Kotor Setiap Hari

Reading time: 2 menit
Percemaran udara masih menjadi ancaman bagi anak-anak Indonesia dan dunia. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Paparan polusi udara berdampak buruk pada pernapasan anak. Bahkan, tak hanya itu, anak lebih rentan sakit karena sistem kekebalan tubuhnya belum optimal.

Berdasarkan laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), polusi udara menyebabkan kematian 600.000 anak-anak setiap tahunnya. Setiap hari sekitar 93 % anak-anak di bawah 15 tahun di dunia atau sekitar 1,5 miliar mereka menghirup udara tercemar. WHO mengungkap bahwa polusi udara telah menempatkan tingginya risiko kesehatan mereka.

Dokter Spesialis Anak Zakiudin Munasir mengatakan, semua jenis polusi udara di atas ambang batas normal akan mengganggu semua jenis makhluk hidup. Anak-anak lebih rentan karena mekanisme clearing karena secara imunologi belum optimal. Akibatnya mudah terjadi kerusakan organ tubuh.

“Polusi akan menghasilkan radikal bebas yang dapat merusak sel-sel terutama sel kekebalan. Bila berlangsung lama maka akan berpengaruh pada sistem imunnya,” katanya kepada Greeners, Sabtu (23/7).

Meski pernapasan identik dengan kerusakan organ paru-paru, tapi dokter Zaki menyebut paparan polusi tak hanya menyerang paru-paru, tapi semua jenis organ turut terancam.

Waspadai Sumber Polusi Udara di Rumah

Ia menegaskan, anak-anak harus menghirup udara yang lebih segar dan sehat. Pada situasi pandemi saat ini, sambung dia anak justru mengurangi aktivitas di luar rumah dan banyak berkegiatan di dalam rumah. Meski begitu, pastikan anak-anak tidak menghirup sumber polusi yang ada di dalam rumah.

“Misalnya jauhkan dari barang-barang yang menyimpan debu, seperti karpet, mainan bulu-bulu, hingga sirkulasi yang kurang baik seperti yang bersumber dari binatang peliharaan,” tuturnya.

Dokter Zaki juga mendorong peran aktif orang tua untuk meminimalisir dampak polusi udara, seperti memastikan status hidrasi anak tercukupi. Hal ini penting agar mucus atau lendir saluran napas anak tak berubah kental sehingga bisa menangkap serta mengeluarkan kotoran dari pernapasan.

“Mucus ini merupakan lendir fungsinya untuk menangkap partikel dan kotoran. Jika hidrasi kita kurang, mucus itu akan menjadi kental. Akibatnya, akan kesulitan untuk menangkap serta mengeluarkan kotoran yang masuk ke saluran pernapasan,” ungkapnya.

Momentum Hari Anak Nasional

Bertepatan dengan Hari Anak Nasional (HAN) pada 23 Juli bertema Anak Terlindungi Indonesia Maju, dokter Zaki mendorong pemerintah untuk memastikan edukasi akan dampak polusi udara pada anak-anak di Indonesia. Utamanya, polusi yang berasal dari rumah yang kerap tidak orang tua sadari.

Masih menurut data WHO, selain anak, polusi udara juga menyebabkan sekitar 7 juta orang di seluruh dunia meninggal setiap tahunnya. Adapun sepertiga kematian akibat stroke, kanker paru-paru dan penyakit jantung karena udara yang tercemar.

Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safruddin menyebut, pencemaran yang berasal dari aktivitas rumah tangga turut berkontribusi terhadap pencemaran udara ambien di DKI Jakarta sebesar 11 %.

Ia mendorong keterlibatan aktif para orang tua untuk memperhatikan sumber indoor air pollution. Seperti halnya ancaman paparan PM 2.5 akibat dari penumpukan debu pada filter AC yang kerap kali mikroorganisme berbahaya huni.

Selain itu, debu yang terserap dalam plafon dan di bawah karpet juga kerap menjadi problem utama akut dan kronis karena mampu mengekspos paparan PM 2.5.

Kualitas Udara Jakarta Terburuk di Dunia

Sementara itu, berdasarkan data jaringan pemantau kualitas udara real-time IQAir, pertengahan bulan Juni lalu, Jakarta menyabet sebagai kota dengan kualitas udara terburuk dibanding kota-kota besar di dunia.

Menurut catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta mengalami peningkatan konsentrasi partikel debu halus (PM2.5), khususnya dalam beberapa hari terakhir. Bahkan, konsentrasi PM.25 di Ibu Kota melampaui level tertinggi pada angka 148 mikrogram per kubik.

“Tingginya konsentrasi PM2.5 dibandingkan hari-hari sebelumnya ini termasuk kategori tak sehat,” ujar Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko dalam keterangannya.

Peningkatan konsentrasi PM2.5 di wilayah Jakarta dan sekitarnya karena pengaruh sejumlah faktor. Salah satunya emisi dari sumber lokal seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional kawasan industri dekat Jakarta.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top