Menanam Pohon Tidak Akan Perlambat Pemanasan Global

Reading time: 3 menit
pemanasan global
Ilustrasi. Foto: commons.wikimedia.org

LONDON, 26 Mei 2017 – Manusia tidak bisa hanya menanam untuk keluar dari masalah ini: pepohonan tidak bisa menyerap jumlah karbon dioksida di atmosfer yang terus-menerus meningkat. Apabila negara-negara di dunia ingin menahan laju pemanasan global pada 2°C, maka tidak ada alternatif lain untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara drastis, berdasarkan studi terbaru.

Pohon dapat dianggap sebagai teknologi rendah karbon dan, dalam teorinya, bila dikelola dengan baik maka perkebunan dapat menahan karbon yang dilepaskan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Namun, skala perkebunan tersebut memiliki harga lingkungan yang cukup besar, jelas para peneliti.

“Apabila kita terus menerus membakar batubara dan minyak bumi seperti sekarang ini dan menyesal kemudian, jumlah gas rumah kaca yang harus kita singkirkan dari atmosfer untuk menstabilkan iklim akan terlalu besar untuk dikelola,” jelas Lena Boysen, peneliti dari Postdam Institute for Climate Impact Research yang menjadi ketua studi yang dipublikasikan di jurnal Earth’s Future tersebut.

Menanam pohon bukanlah jawaban

Apabila hutan ditanam pada lahan yang produktif, maka manusia akan kehilangan tanah yang diperlukan untuk memberikan pangan kepada populasi sebesar 9 miliar. Apabila pohon ditanam pada lahan yang tidak begitu produktif, biaya yang diperlukan untuk air dan pupuk nitrogen akan sangat tinggi. Apapun pilihannya, ekosistem alami akan rusak parah.

Dan, pohon yang tumbuh untuk menyerap karbon harus dapat ditampung jauh di dalam tanah untuk mencegahnya kembali ke atmosfer dan mempercepat pemanasan global, bukan menahannya.

“Bahkan, apabila kita dapat menggunakan tanaman produktif seperti pohon poplar atau rumput switchgrass, dan menyimpan 50 persen dari karbon yang ditahan oleh biomass pada skenario bisnis seperti biasa, penggunaan tidak terbatas dari bahan bakar fosil, perkebunan untuk bisa bertahan di bawah 2°C akan mengakibatkan konsekuensi lingkungan yang luar biasa,” jelas Boysen.

Hutan-hutan luas di dunia merupakan mesin iklim dan lebih dari 195 negara setuju di Paris pada tahun 2015 untuk mengambil langkah dalam menahan perubahan iklim, baik dengan mengelola lahan terlantar dan mengganti bahan bakar dengan energi terbarukan.

Jadi, penyimpanan karbon dalam bentuk lahan hutan merupakan salah satu komponen dari masalah yang kompleks.

Boysen dan koleganya melaporkan bahwa mereka telah melihat beberapa skenario, yang dalam teori, bahwa investasi besar-besaran dalam menanam pohon mampu menghilangkan kadar karbon di atmosfer.

Salah satu skenario membutuhkan 6,9 miliar hektar lahan perkebunan yang diberikan 570 juta ton nitrogen per tahun, dan bahkan perkebunan skala kecil dapat diperluas hingga satu miliar hektar dan mengonsumsi 96 juta ton pupuk nitrogen per tahun. Satu miliar hektar sama dengan 10 juta kilometer persegi atau lebih luas dari Kanada.

Pilihan lain yang dapat dipertimbangkan melibatkan penutupan seperempat lahan pertanian global dengan biomass yang tidak produktif, yaitu batang pohon yang seharusnya dikubur, sementara lainnya terkait dengan hilangnya ekosistem alami setara dengan sepertiga lahan berhutan dunia saat ini.

“Kami sedang mencari kemungkinan-kemungkinan di masa depan, tidak hanya yang positif semata,” jelas Wolfgang Lucht, salah satu penulis.

“Apa yang terjadi di skenario terburuk, halangan dan kegagalan kebijakan mitigasi? Apakah tanaman akan bisa menstablikan iklim pada kondisi darurat? Jawabannya : tidak. Tidak ada alternatif untuk mitigasi yang sukses. Dalam skenario tersebut, tanaman hanya berpotensi memiliki peran terbatas tapi penting, apabila dikelola dengan baik.”

Para ahli iklim sudah melakukan inventarisasi terhadap hutan-hutan di dunia: mereka menghitung lebih dari satu triliun pohon dan memberikan penomoran kepada spesies yang dikenali.

Mereka mengkalkulasikan nilai relatif sebagai penyerap karbon dari pohon yang tua dan muda dan meneliti ulang lahan kering di dunia untuk menemukan lahan hutan yang luas yang belum pernah dihitung dengan luasan yang sama dengan Uni Eropa. Namun, ketika konservasi hutan menjadi penting dalam menjawab tantangan perubahan iklim, perkebunan yang disengaja akan menjadi kontra produktif.

Para penulis menggarisbawahi bahwa salah satu pilihan untuk perkebunan biomassa akan mengkonsumsi 10-25 persen dari lahan pertanian dunia, dengan biaya 43-73 persen dari produksi kalori dunia per tahunnya.

Penggunaan bahan bakar fosil

Mereka berpendapat jika dunia meninggalkan daging dan produk susu dan menanam lahan peternakan bahkan tidak akan berujung kepada keuntungan iklim. Hal tersebut dikarenakan lahan peternakan lebih besar daripada pertanian pangan, mereka juga tidak produktif.

Para peneliti kembali lagi kepada pentingnya untuk menurunkan penggunaan bahan bakar fosil.

“Pada drama iklim saat ini yang menampilkan Bumi di panggung utama, memindahkan CO2 bukanlah pahlawan yang akan menyelamatkan dunia seandainya tindakan lain sudah gagal.”

“Namun, aktor pendukung yang harus bisa memainkan peran dengan baik sedari awal, sementara bagian utamanya terletak pada protagonis mitigasi,” jelas Hans Joachim Schellnhuber, direktur Postdam Institute.

“Jadi, ini pesan yang positif. Kita tahu apa yang harus dilakukan, menghilangkan penggunaan bahan bakar fosil secara berkala, dilanjutkan dengan teknik-teknik pengurangan CO2 lainnya. Kita tahu kapan harus dilakukan, sekarang. Dan, apabila kita melakukannya, kita akan melihat bahwa masih ada kemungkinan untuk menghindari risiko iklim dengan menahan kenaikan suhu di bawah 2°C.” – Climate News Network

Top