Mengubah Pangan dapat Mengantisipasi Perubahan Iklim

Reading time: 2 menit
perubahan iklim
Ilustrasi. Foto: pixabay

LONDON, 7 November 2017 – Para ilmuwan AS dan Italia telah mengerjakan strategi untuk bisa memberikan makan bagi tambahan 825 juta orang dan di mana mereka harus menanamnya. Menu terbaru bagi global dapat melayani hingga 10 persen lebih kalori dan 19 persen lebih protein dengan mengurangi 14 persen air hujan dan 12 persen irigasi.

Rahasianya: perubahan pola pertumbuhan tanaman pangan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, pada dunia yang kian menghangat dengan pola curah hujan yang menjadi susah diprediksi dan kekeringan serta gelombang panas menjadi lebih sering terjadi dan intens.

Artinya, beberapa tempat menjadi lebih rentan untuk bahan pangan tradisional seperti beras, gandum, tepung jawawut, tebu dan bit gula dan beralih ke kacang-kacangan tanah, kedelai, sorgum, akar-akaran dan umbi-umbian.

Perubahan iklim telah terjadi melalui beberapa hal, misalnya panen anggur di Eropa menjadi lebih awal, menjanjikan masa depan untuk anggur di Inggris bagian selatan, dan panen sukses pertama black truffle di Wales Selatan, Inggris.

Namun, secara garis besar, hal tersebut justru mengkhawatirkan: adanya prediksi penurunan produksi kopi di Amerika Selatan dan bagi petani gandum di Eropa, Asia dan Amerika. Ada peringatan bahwa perubahan iklim dapat menghantam keras petani Afrika dan varietas pangan tradisional tidak bisa beradaptasi dengan kondisi baru.

Penyimpangan besar

Kyle Davis dari Columbia University’s Earth Institute di US dan koleganya melaporkan pada jurnal Nature Geoscience dengan mencocokkan model penggunaan air di peternakan dan membuat peta dari 14 tanaman pangan penting di dunia.

Mereka menemukan bahwa model terbaru untuk distribusi pangan mereka dapat menyimpan air di 42 negara, termasuk Australia, India, Meksiko, Maroko, dan Afrika Selatan, sama halnya dengan Central Valley di California dan Sungai Nil di Mesir.

Beberapa region, misalnya di US Midwest, akan terus menghadapi kelangkaan air di manapun pangan ditanam. Namun, setidaknya bagi 63 negara, seperti Etiopia, Kenya dan Spanyol, bergantung pada impor makanan, redistribusi makanan akan bisa mencapai 20 persen lebih tinggi nilai kalori atau protein dan meningkatkan kemampuan diri sendiri secara umum.

Penelitian semacam ini bergantung kepada kondisi lokal dan membuat penilaian yang dapat memberikan hasil terbaik bagi para petani dan komunitasnya. Petani secara tradisional sudah melakukan hal tersebut.

Namun, peningkatan rata-rata suhu global sebesar 1°C pada akhir abad ini berarti bahwa tradisi lokal dipertanyakan. Truffle asal mediterania, Tuber melanosporum , sangat tergantung dengan oak Mediterania dan kondisi iklim di Perancis selatan dan Italia utara. Namun, para peneliti Inggris melaporkan pada Climate Research bahwa mereka telah sukses memanen spesimen seberat 16 gram di Monmouthshire, di Wales.

Truffle hitam merupakan salah satu pangan termahal di dunia. Sukses yang terjadi akibat perubahan iklim, lebih karena kebetulan.

“Ini merupakan salah satu spesies truffle terbaik di dunia dan potensi industri sangatlah besar,” jelas Paul Thomas dari University Stirling di Skotlandia, dan Mycorrhizal Systems Ltd, salah satu penulis.

“Kami menanam banyak pohon untuk melihat ketahanan mereka namun kita tidak mengira bahwa spesies mediterania ini dapat tumbuh di Inggris. Ini jelas merupakan pengembangan yang menarik.”

Titik awal

Perubahan iklim akan bertindak sebagai undian global: akan ada pemenang. Namun, saat populasi global terus meningkat, dan panas ekstrem, kekeringan, badai serta banjir menjadi lebih sering, akan lebih banyak yang kalah.

Para peneliti Nature Geoscience berargumen bahwa perubahan pertanian menjadi titik awal dan bukan jawaban akhir. Pilihan panen musti beradaptasi dengan kondisi lokal dan budaya.

“Analisa kami menunjukkan bahwa redistribusi pangan yang dipanen dapat menggunakan teknologi dan pengetahuan yang sudah ada di suatu negara untuk menawarkan keuntungan dari ketahanan pangan dan lingkungan,” jelas Dr Davis dan koleganya.

“Secara khusus, hasil kami sangat menggembirakan bagi beberapa negara yang berkutat dengan kelangkaan air, ketahanan pangan atau keduanya.” – Climate News Network

Top