Moratorium Berakhir, Izin Armada Perikanan Berpotensi Jadi Masalah

Reading time: 2 menit
Ilustrasi: www.pixabay.com

Jakarta (Greeners) – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengungkapkan bahwa ketidakmerataan izin armada perikanan antara nelayan yang menangkap ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dengan yang berada kurang dari 12 mil dari pantai akan berpeluang menjadi persoalan besar setelah berakhirnya moratorium bulan Oktober mendatang, jika tidak segera diselesaikan.

Menurut Ketua KNTI, Riza Damanik, izin penangkapan ikan yang tercatat di ZEEI hingga 2014 hanya kurang dari 2 persen dari total armada ikan nasional bermotor atau 4.230 kapal saja. Sedangkan sebanyak 226.520 armada lainnya atau sekitar 98,2 persen kapal bermotor tercatat mendapat izin di perairan kurang dari 12 mil laut dengan ukuran kurang dari 30 Gross Tonnage (GT).

“Di atas kertas hal ini menjelaskan tantangan yang teramat besar akan dihadapi oleh perikanan nasional pasca berakhirnya kebijakan moratorium Oktober mendatang. Yakni, satu sisi perebutan pemanfaatan ikan di bawah 12 mil laut teramat kuat, baik antar sesama kapal kecil, antar sesama kapal besar, maupun kapal besar dan kapal kecil,” jelasnya kepada Greeners, Jakarta, Senin (29/06).

Di sisi lain, lanjut Riza, kemampuan armada Indonesia untuk optimalisasi pemanfaatan di ZEEI masih tergolong rendah. Persoalannya menjadi lebih rumit karena adanya dugaan mark-down gross akte sejumlah kapal ikan yang belum terselesaikan hingga saat ini.

Untuk itulah, Riza menegaskan bahwa pemerintah melalui Menteri Koordinator Kemaritiman harus segera melakukan hubungan yang sinergi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Perhubungan untuk menuntaskan pengukuran gross akte kapal ikan nasional sesegera mungkin.

“Dari sana KKP dapat mengeluarkan izin baru dan dapat mengukur kemampuan produksi dari tiap-tiap armada ikan nasional secara lebih akurat,” tambahnya.

Bahkan, terus Riza, sebagai insentif, tidak ada salahnya pemerintah membebaskan pembiayaan, baik dalam pengukuran gross akte maupun pada akhirnya upgrade perijinan daerah dari versi mark-down di bawah 30GT ke KKP dengan asumsi bobot sebenarnya di atas 30GT.

Jika hal tersebut dilakukan, terang Riza lagi, maka secara ideal, sekurang-kurangnya 35 persen dari izin kapal ikan saat ini harusnya dapat bergeser ke ZEEI hingga 2019 akan datang. Terlebih, tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan dapat berkurang, penangkapan ikan di ZEEI oleh kapal berbendera Indonesia menjadi lebih optimal dan akurat, kesejahteraan nelayan kecil dan buruh perikanan dapat meningkat, termasuk pencurian ikan dapat dicegah sejak awal.

“Disinilah kelembagaan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) pada akhirnya dapat berperan strategis mengawal prosesnya,” tutupnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top