Pengesahan RUU Konservasi Terus Tertunda, UU No. 5/1990 Dianggap Masih Relevan

Reading time: 2 menit
ruu konservasi
KLHK dan pihak berwenang menunjukkan barang bukti berupa opsetan satwa, kerapas kura-kura, sisik trenggiling, kulit reptil dan bagian tubuh satwa liar. Barang bukti sebanyak 8 truk tersebut kemudian dimusnahkan di Pelabuhan ratu, Lebak, Banten pada 30 April 2018 lalu. Foto: KLHK

Jakarta (Greeners) – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menganggap bahwa Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) belum perlu diundangkan karena UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dianggap masih relevan dengan permasalahan sumber daya alam hayati saat ini. Padahal penguatan payung hukum konservasi sangat dibutuhkan.

“Payung hukum konservasi yang digunakan negara saat ini, yaitu UU No. 5/1990 tentang KSDAHE, sudah tidak lagi relevan dengan kompleksitas permasalahan di tingkat tapak. Sudah 29 tahun lamanya UU tersebut belum direvisi sehingga tidak lagi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan teknologi yang begitu pesat, misalnya dalam merespon kejahatan terkait perlindungan satwa liar,” kata Trias Fetra, peneliti dari Yayasan Madani Berkelanjutan dalam diskusi publik Menakar Keberpihakan Wakil Rakyat pada Isu Lingkungan RUU (KSDAHE), Rabu (27/02/2019).

BACA JUGA: DPR Belum Terima Daftar Inventaris Masalah, RUU Masyarakat Adat Menggantung 

Data Wildlife Conservation Society Indonesia mencatat bahwa jumlah kasus kejahatan satwa liar meningkat tajam dari 106 kasus pada tahun 2015 menjadi 225 kasus pada tahun 2017. Data Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2018 menyebutkan transaksi perdagangan tumbuhan dan satwa liar mencapai lebih dari Rp13 triliun per tahun.

Trias mengatakan dari data tersebut UU yang ada saat ini belum dapat secara efektif mengatasi persoalan dan memberikan efek jera. Menurutnya, jika pemerintah menilai UU No. 5/1990 masih relevan dengan permasalahan yang menjerat SDA, maka bukti menyatakan sebaliknya.

BACA JUGA: Gagal Rampung, Revisi UU Konservasi Belum Menjadi Prioritas 

Kepala Divisi Tata Kelola Hutan dan Lahan ICEL Rika Fajrini mengatakan bahwa penyebab pemerintah menganggap RUU KSDAHE belum relevan ialah draf yang dibuat oleh DPR belum sempurna. Salah satunya, aturan pidana yang tidak mengatur masalah korporasi dan kejahatan pada satwa liar.

“Menurut ICEL menjerat pelaku utama/intelektual dalam kejahatan satwa liar dilindungi, seperti bagaimana menjerat kejahatan korporasi atau kejahatan korporasi, sangat urgensi dan hal itu tidak dibahas di UU No. 5/1990. Makanya kami mendorong jika ada substansi di dalam draf RUU KSDAHE yang masih salah atau perlu diperbaiki, ayo bersama-sama diperbaiki, bukan malah tidak diacuhkan atau didiamkan saja,” kata Rika.

Menurut Rika, ICEL memperhatikan ada beberapa substansi yang tidak sesuai dengan konflik yang terjadi saat ini. Seperti perumusan delik tindak pidana yang berbunyi “Setiap orang yang memanfaatkan SDA akan dipidana” padahal definisi SDA adalah tumbuhan dan hewan, sedangkan di UU No. 5/1990 berbunyi “Setiap orang yang memanfaatkan SDA yang dilindungi akan dipidana”.

“Jadi kalau memelihara hewan bisa kena delik itu. Jelas hal ini tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan untuk menjerat pelaku intelektual yang semena-mena menggunakan SDA kita,” jelas Rika.

Rika menilai jika draf RUU KSDAHE ini tidak diperbaiki maka porsi kesempatan pengelolaan swasta akan lebih besar dibandingkan porsi pengelolaan untuk masyarakat. Padahal konflik yang terjadi pada masyarakat dan lahan konservasi sudah sangat pelik, masuknya korporasi akan menambah permasalahan yang ada.

Penulis: Dewi Purningsih

Top